Handhira Production

Halaman


">Iklan Melayang

">

Selasa, 22 Desember 2015

“ Bisikan Rindu, Dari Ibu “



Entah apa yang membuatku malam ini begitu rindu dengan keluargaku dikampung. Setelah lima belas tahun aku merantau meninggalkan rumah tiba-tiba baru saat ini aku merasakan ada desakan yang membuatku rindu dengan kampung halamanku. Memang kusadari setelah kepergianku melangkahkan kaki dari rumah, aku tak pernah memberi kabar keluargaku, terutama memberi kabar kepada kedua orang tuaku. Baru kusadari bahwa aku begitu tega dengan keluargaku disana, aku tahu mereka disana selalu merindukan kehadiranku, setiap saat selalu menantikan kabarku, biar tahu bagaimana keadaanku. Namun, aku disini tak pernah memikirkan apa yang mereka pikirkan, sungguh jahatnya aku sebagai anak harus melupakan orang tuaku.
Tangis yang keluar dimataku malam ini mungkin adalah sebuah penyesalan setelah pergi meninggalkan rumah selama lima belas tahun. Air mata yang menetes ini bukanlah air mata biasa yang kuteteskan saat aku menangis karena gajiku tak dibayar. Namun, air mataku kali ini adalah air mata penuh dosa, yang telah melupakan orang tuaku dikampung.
Malam ini mataku tak bisa tertidur, aku selalu teringat dengan kedua orang tuaku dirumah. Dalam hatiku yang terdalam terasa mendapat panggilan yang besar untuk kembali.
“Ya Tuhan ada apa gerangan semua ini, ada apa dengan keluargaku disana yang membuatku tiba-tiba rindu,” tanyaku dalam hati sambil tersandar duduk.
Jam ditanganku tepat menunjukkan pukul 00.00 aku pu keluar dari kamar melewati kamar-kamar rekan kerjaku, aku membawa semua barang-barangku dengan sebuah ransel. Pelan-pelan kulangkahkan kakiku agar tak terdengar oleh yang lain. Kutelusuri jalan kota dengan berjalan kaki, letih dan jauh tak pernah kuperdulikan. Aku malam itu ingin rasanya secepat-cepatnya pulang menuju kampung halamanku. Walaupun jauh kuberjalan menuju dermaga kapal, namun malam itu semuanya tak pernah kuhiraukan. Aku tak pernah peduli dengan pekerjaanku, padahal hari ini aku harus datang kebagian bendahara perusahaan untuk mengambil gajiku bulan ini. Semua itu tak membuat niatku surut untuk pulang, aku tahu setelah lima tahun aku jauh dari rumah baru kali ini aku mempunyai desakan yang begitu dahsyat.
Dermaga kapal pun dapat kutempuh setelah berjalan kaki selama tiga jam, penat dan letih membuatku tersandar dikursi tempat pengantrian pembelian tiket kapal.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan dua orang yang tak pernah kukenal sebelumnya, dua orang itu terus menarik tas kecil yang kugendong dipundakku.
“ Woi..ada apa ini main tarik-tarik,”kataku kaget.
Mereka berdua terus memaksa menarik tasku hingga tali yang menggantung dipundakku terputus. Aku tak bisa berbuat apa-apa, sementara teman yang satunya memegang erat tubuhku, hingga aku tak bisa bergerak. Salah satu temannya mengambil tas kecilku itu yang didalamnya berisi uang, dan kartu identitasku. Mereka berdua berlari selesai mendapatkan apa yang mereka inginkan, sementara aku hanya tegeletak ditanah.
Matahari pagi pun mulai muncul diufuk timur, aku tak tahu bagaimana untuk pulang sedangkan uang untuk ongkosku pulang raib diambil pencopet. Aku hanya terdiam sambil memperhatikan orang-orang yang mengantri tiket. Teriris pilu dihatiku, aku hanya menundukkan kepala sambil memegang ranselku.
 “Inikah cobaan yang kuhadapi untuk pulang kerumah, Ya Tuhan mengapa cobaan ini begitu berat kurasakan,” bisik hatiku yang terdalam.
Ku perhatikan kapal pun mulai berangkat dari dermaga, hati ku menangis pilu. Tak dapat kubendung air mataku yang menetes melihat kapal itu berangkat. Seharusnya aku ada dalam kapal itu, seharusnya aku cepat sampai dirumah. Kupejamkan mataku, lalu kutadahkan wajahku kelangit, kutatap matahari yang mulai bersinar dengan terik, kutarik nafasku dengan mendesah ku hembuskan pelan-pelan agar sedikit perasaanku bisa tenang. Aku tak mungkin harus kembali keperusahaan dimana aku berkerja, karena kepulanganku secara diam-diam ini pasti sudah diketahui oleh bos dan rekan kerjaku karena melihat isi kamarku yang kosong.
Hatiku terus menangis meratapi apa yang terjadi padaku, tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang oleh seorang lelaki tua yang umurnya kira-kira sama dengan Ayahku dirumah. Ia bertanya kepadaku mengapa aku menangis seperti itu, akupun cerita kepadanya dengan apa yang baru kualami. Dengan niatnya yang tulus akhirnya lelaki tua itu mau membantuku mencarikan aku pekerjaan sementara untukku bertahan hidup disitu. Akupun berjalan mengikuti langkah lelaki tua yang baru kukenal itu. Alhamdulillah, aku dipertemukan dengan anaknya yang mempunyai satu proyek kerja bangunan. Aku pun ikut kerja pada hari itu juga. Tanpa pernah berfikir lagi segala resikonya, tawaran anaknya pun langsung ku ia kan, karena aku memang butuh pekerjaan untuk mendapat uang agar aku bisa kembali kerumah.
***
Lima belas hari aku ikut berkerja membuat bangunan walet tak jauh dari dermaga, dengan gaji yang cukup untukku, hari itupun aku langsung memutuskan untuk pulang. Karena hatiku yang terdalam sangat merindukan kedua orang tuaku. Sebelum aku pulang aku tertunduk merendahkan diri dihadapan Tuhan, kujatuhkan badanku bersujud untuk mensyukuri hikmah yang telah ia curahkan untukku.
Pagi pun menjelang ditepi dermaga, aku bergegas menuju kapal setelah mendapatkan tiket masuk. Senyum terakhir terpancar dari lelaki tua yang telah menampungku lima belas hari didermaga itu. Akupun melambaikan tanganku kepada nya. Dengan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadanya, kemudian kapalpun mulai menjauh dari dermaga.
Aku duduk disudut kapal yang perlahan semakin jauh meninggalkan dermaga. Kutatapi potret ibu dan bapakku yang masih tersimpan didompetku. Terisis kembali hatiku, aku semakin tak sabar mau secepatnya datang kerumah bertemu mereka. Ingin rasanya kuungkapkan sejuta rindu yang kini ku bawa untuk mereka. Perjalanan pun semakin jauh, hingga yang dapat kupandang hanyalah lautan yang luas, hanya ada gelombang yang berlari berkejaran kemudian memecah terhempas didinding kapal.
Menjelang azan subuh, kapal yang membawaku sudah berlabuh didermaga kota kelahiranku. Raut mukaku pun bertambah jadi bahagia melihat lampu-lampu kota yang bersinar, yang ditemani sahutan kokok ayam yang bagiku ini baru kudengar lagi setelah lima tahun aku meninggalkan kota kelahiranku. Akupun bergegas keluar dari pintu depan kapal yang menumpangiku, segala penat yang kurasa, mabuk laut yang sempat kurasakan tak pernah kufikirkan karena besarnya desakan rindu yang membawaku untuk pulang kerumah.
Matahari mulai menyinsing dibelakangku, aku mencari ojek untuk menuju kerumahku. Perjalanan dari dermaga menuju rumahku pun dapat kutempuh, hingga tak beberapa lama aku sudah berada tepat dihalaman rumahku. Melihat halaman rumahku, melihat rumah yang jauh sudah berubah, yang dulunya masih tegap berdiri dengan kayu penyangga yang kuat, tapi kini mulai luntur dimakan waktu, warna dinding yang telah memudar, tiang-tiang rumah yang mulai dihinggapi binatang yang melapukkan. Lima belas tahun kutinggalkan kini sudah banyak perubahan, dulu aku melangkah pergi dari rumah masih berumur belasan tahun tapi kini aku pulang sudah hampir tiga puluhan. Sebelum aku melangkah masuk kedalam rumahku, aku teringat lima belas tahun yang lalu. Saat ayahku mengusirku pergi dari rumah, ibu hanya menangis ditepi pintu melihat kepergianku. Memang kesalahan itu ku kubuat sendiri. Aku terlalu egois pada diriku sendiri dengan lari dari kenyataan yang seharusnya kupertanggung jawabkan.
Pelan-pelan kulangkahkan kakiku masuk kedalam rumah, kuketuk pintu yang mulai berdebu dimakan waktu. Kuletakkan ransel pakaianku, kembali kuulangi mengetuk pintu agar aku segera dibukakan. Anak perempuan kira-kira berusia 14 tahun membukakan aku pintu rumah.
“Ada apa ya om” katanya sambil menatapku heran.
“Rumah ini ada orangnya kah,” jawabku sambil membalas tatapannya.
“Oya om, orang rumah ada kok, nenek lagi dikamar,” jawabnya sambil mempersilahkan aku masuk.
Aku merasa heran sekali dengan jawaban gadis kecil itu yang mengatakan dan menyebut ibuku adalah neneknya. Padahal aku tahu aku adalah anak satu-satunya dikeluargaku. Kalau anak sepupuku juga tidak mungkin mau tinggal dikampung seperti ini, bisikku dalam hati.
Aku terus mengikuti langkah gadis itu menuju kamar tempat ibuku. Kemudian gadis kecil itupun mempersilahkan aku masuk kekamar. Kulihat dari celah-celah kelampu putih yang terang tampak seorang perempuan terbujur di atas kasur, ya dialah ibuku. Aku langsung mendekap tubuhnya erat tanpa berkata terlebih dahulu. Aku tahu saat itu ibuku pasti heran dengan kedatanganku yang tiba-tiba memeluknya sambil menangis. Aku tak henti-hentinya menangis tersedu.
“Siapa kamu tiba-tiba menangis memelukku,” kata ibuku sambil tangannya menjauhkan tubuhku darinya.
“Aku Aldo bu, Aldo anak ibu yang lima belas tahun pergi meninggalkan Ibu,” jawabku terisak-isak.
“Aldo,”
Ibuku pun terus mendekapku erat, kutahu dia sangat merindukan kehadiranku. Setelah belasan tahun aku pergi baru sekarang bertemu kembali. Aku pun mencium keningnya, air mataku yang terus menetes membuat tangan ibuku bergerak untuk menghapus air mataku. Suasana dalam kamar saat itu memang mengharukan, ditambah tangisku yang kuat. Aku pu mencium kedua tangan ibuku dan meminta maaf atas apa yang telah kulakukan selama ini kepadanya.
Sementara gadis kecil yang duduk disebelah kiriku hanya menatap heran, sedikit air matanya juga ikut terjatuh menyaksikan keharuan tangisku dan tangis ibu yang menyatu. Dia hanya menatapiku dengan seribu tanda tanya, mungkin juga saat itu dia bertanya siapakah aku. Mungkin juga dalam fikirannya bertanya mengapa aku menangis seperti itu?
Ibupun duduk disamping kananku, lalu ibu memanggil gadis itu untuk duduk dekat disampingku.
“Suci, kesini dekat nenek,” kata ibuku sambil mengusap pelan tetesan air matanya.
“ Ia nek,”jawabnya polos.
Gadis itupun mendekatiku dan duduk berdampingan denganku.
“Suci, kamu tahu nak ini siapa,” tanya ibuku kepada gadis itu.
“Aku tidak tahu nek,”jawabnya singkat.
“Inilah bapakmu Suci,” kata ibuku sambil memegang pundakku.
Aku tersentak kaget, gadis kecil yang penuh dengan kepolosan itu ternyata adalah anakku. Anak yang kutinggalkan pergi lima belas tahun dari rumah, karena dengan alasan aku tak ingin menikahi ibunya. Hatiku yang terdalam menyimpan seribu sesal yang tak dapat kuungkapkan dengan apa-apa. Aku hanya bisa menatapi wajah polos gadis itu dengan seksama.
Akupun memeluk gadis itu sambil menangis, kuciumi rambutnya yang hitam dan lebat itu. Kubelai dengan segala curahan kasih sayang yang selama ini tak pernah kuberikan kepadanya.
“Suci, maafkan aku, maafkan aku untuk semua salah yang tak terhitung kepadamu,”kataku sambil menangis.
Gadis kecil itu hanya bisa menangis dipelukanku.
Ibu mengusap pundakku dari belakang, aku rindu sekali dengan usapan ibu kepadaku seperti itu. Terasa usapan ibu yang kali ini adalah usapan ibu yang dulu saat membangunkan aku diwaktu pagi dari tidur malam.
“Ayah kemana bu,” kataku sambil melepas pelukanku terhadap gadis itu.
Ibu hanya terdiam sejenak mendengar pertanyaanku seperti itu.
“Ayah kamu sudah meninggal saat kepergianmu menginjak delapan bulan,” kata ibuku sambil menangis kembali.
Aku kembali menjadi lemas, terasa berdosanya aku sampai ayahku meninggal aku tak berada disampingnya.
“Ya Tuhan ampunilah aku yang begitu banyak melakukan kesalahan ini, ampuni dosa kedua orang tuaku ya Tuhan,” doaku dalam hati.
Aku merengkuh Suci dan ibuku, mendekap mereka lewat kiri dan kananku. Kami bertiga menangis serempak, tak ada yang bisa tahu betapa keharuan hadir diantara itu. Tangisku yang haru akan rindu bercampur menjadi satu setelah tahu bahwa ayahku teah meninggal.
Aku bertanya kepada ibuku tentang Ibu Suci yang telah melahirkannya.
“Dina kemana bu, kok hanya suci disini,” tanyaku kepadaku ibu
“Ibu sudah tidak ada Pak, ia meninggal saat melahirkan Suci,”jawab Suci sambil menangis.
Hatiku semakin merasa terpukul, lima belas tahun berlalu pergi tanpa kabar. Bukan hanya dinding dan tiang rumah yang lapuk, melainkan anggota keluarga dan orang tersayang bagiku juga telah pergi untuk selamanya. Aku hanya bisa menyesali semua yang telah lalu tanpa harus bisa memutar waktu untuk kembali seperti dulu. Saat semuanya tertawa bersamaku, dan saat semua ada didekatku.
Aku begitu banyak dosa kepada ibu dan ayahku dengan meninggalkan mereka dari rumah. Aku terlalu mengikuti arah nafsuku. Aku juga berdosa kepada Dina yang hamil tak kunikahi hingga kini lahir anak dari hubungan kami dulu bernama Suci. Seandainya dulu aku mau menikah dengan Dina, mungkin aku takkan pergi meninggalkan rumah setahunpun. Aku juga akan hadir saat ayahku sakit sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya. Tapi itu hanya sebuah penyesalan, waktu takkan dapat lagi kuputar.
Tiba-tiba suci mendekatiku dan memberikan selembar kertas kepadaku. Lalu akupun membuka lipatan kertas itu dan tertulis dengan tulisan tangannya sendiri.
Andai dunia ini ada dalam pelukku.
Mungkin engkau tahu apa yang ku rasakan sekarang.
Segala kerinduan akan hadirmu disisiku.
Segala kehangatan yang kami dambakan dari hangatnya pelukanmu.
Dapat kau rasakan seperti apa yang aku rasakan.
Tapi dunia luas memisahkan kita, hingga hadirmu tak dapat kusentuh.
Hanya ada bayanganmu yang selalu terlintas dalam benakku.
Engkau anakku, selalu kurindukan untuk menemaniku masa tuaku.
Beribu jarak dan beribu waktu yang kau tempuh.
Beribu pulau dan beribu jembatan yang kau lalui.
Tidakkah membuat hatimu berpaut rindu untuk kembali.
Pulanglah Aldo.
Kembali dalam pelukanku.

Aku menangis membaca kata-kata ibuku yang ditulis Suci yang diberikannya kepadaku. Ternyata aku memang mendapat panggilan untuk kembali kerumah, hingga membuat ku terus bersikeras untuk pulang.

Kini aku akan hidup bersama ibu dan gadis kecil bernama Suci, aku berjanji tak akan meninggalkan mereka sampai akhir hayat yang harus memisahkan kami.

0 comments:

Posting Komentar

 
close