Oleh : Riecko Ananda
Buang Abu adalah salah satu prosesi budaya setelah melaksanakan khitan (Sunat), biasanya dilaksanakan dalam waktu tiga sampai 10 hari setelah khitan dan dibarengi dengan syukuran/acara. Namun kini yang tertinggal hanya syukurannya saja, budaya buang abu sudah banyak di hilangkan oleh sebagian masyarakat karena dianggap tidak ada relevansi dengan zaman sekarang. Istilah buang Abu dibeberapa desa masih banyak disebut walaupun dalam rentetan acara syukuran tersebut tidak ada lagi prosesi budaya buang abu.
Buang abu didalam masyarakat melayu Sambas sangat kental sekali untuk setiap momen anak lelaki setelah khitan. Pada zaman dahulu berdasarkan cerita ayah dan ummak (Ibu) Budaya buang abu diistilahkan karena sebelum adanya dokter sunat/puskesmas melainkan menggunakan Bilal (Tukang Sunat) yang berfungsi untuk menempatkan dedaunan (perban) khitan dan darah (istilahnya getah) biar satu wadah dan tidak menimbulkan bau sehingga disimpanlah didalam tempurung kelapa yang berisi abu.
Proses khitan pada zaman dahulu sangat berbeda dengan zaman sekarang yang rata-rata menggunakan alat canggih dan modern, salah satunya sebut saja yang menggunakan laser. Dahulu kebanyakan orang khitan hampir memasuki usia baligh (bujang) sekitar berusia 16-20 tahun dikarekan menunggu yang bersangkutan sudah berani, bisa mengurus sendiri dan pastinya sudah bersedia serta siap dikhitan berdasarkan kemauan pribadi, karena proses khitannya cukup rumit dan memakan waktu lama untuk sembuh, hanya mengandalkan obat-obatan dedaunan dan tawar-menawar (jampi).
Dahulu ketika anak laki-laki mau berkhitan, menurut cerita sekitar pukul 1 dini hari sudah berendam didalam air, agar badan dingin dan ketika di (Khitan/potong) tidak begitu kuat sakitnya karena benda (p) sudah dalam keadaan KASSAT. Ketika tiba waktunya dipagi hari, anak laki-laki pun siap dikhitan, dipotong diatas batang pisang (kedabong) dan diiris menggunakan sembilu (Pisau Bambu).
Terbayangkan bagaimana perihnya ketika khitan jaman dahulu ? Tapi itulah dahulu ketika zaman masih belum berubah, ketika teknologi belum berkembang, ketika akses belum terbuka luas. Namun kini semuanya terasa mudah, anak-anak usia 7 sampai 10 tahun rata-rata sudah siap dikhitan dan sudah berani karena tiga sudah sembuh dan obat-obatannya juga mudah didapatkan.
Kembali ke Buang Abu, buang abu yang dimaksud adalah satu tempat yang bernama tempurung diisi abu yang berfungsi untuk menempatkan bekas perban (dedaunan/mengkudu/sehingga sering disebut botok) dan beberapa bekas cairan darah dengan tujuan agar tidak menimbulkan bau disekeliling.
Ketika tiba pada saat hari buang abu, perkakas didalam tempurung berisi bekas perban tadi dilempar sejauh mungkin. Biasanya dianggap punya makna ketika tempurung yang dilempar berisi abu tersebut jatuh baik dalam keadaan telungkup atau terlentang. Ketika tempurung yang lempar tadi dalam keadaan terlungkup maka dianggap akan lama baru kawin, namun sebaliknya ketika tempurung yang dilempar dalam keadaan terlentang maka dianggap akan cepat kawin (fakta atau mitos itu sering diucapkan oleh orang-orang dikampung). Nyatanya hal itu tidaklah berpengaruh pada jodoh seseorang, hanya saja istilah itu hanyalah buah bibir dari orang-orang zaman dahulu.
Ketika selesai dikhitan, anak laki-laki sudah dianggap bujang dan mampu untuk mengurus dirinya sendiri.
Courtesy Of Youtube : Handhira Production
0 comments:
Posting Komentar