Aku memang nakal dimata teman-temanku. Selalu saja ada hal yang
kulakukan untuk membuat temanku merasa malu. Mulai dari mengolok sampai harus
mempermalukan temanku dengan mengikat tali dipinggangnya hingga membuat ia
terjatuh. Dikelas begitu juga aku sering sekali menjahili teman-temanku, hingga
membuat aku dijauhi mereka. Guru-guru disekolahku banyak yang tak menyukai
tingkahku, hingga tiap pembagian raport aku selalu mendapat nilai yang rendah.
Tapi bagi ku itu tak masalah, aku selalu percaya diri dengan apa yang kupunya.
Dengan segala caraku akhirnya aku bisa naik kelas walaupun bukan dengan cara
yang dibenarkan. Aku naik kekelas dua SMA harus mengeluarkan uang untuk
menyogok wali kelasku agar aku bisa naik kelas dan aku minta naik dikelas dua
Ipa, karena kata kakak kelasku anak Ipa itu tergolong anak-anak yang pintar.
Mendengar pernyataan itulah aku mau naik dikelas Ipa, walau sebenarnya tak
sesuai dengan kekampuanku.

Aku dibesarkan dari keluarga yang mempunyai jabatan, ibuku seorang
Jaksa dan bapakku adalah pemilik tambang Emas yang tambang emasnya hampir ada
diseluruh pelosok Kalimantan. Dengan dibesarkan melalui segala kemewahan
membuatku menjadi manja sekali. Aku anak tertua dari tiga saudara, dan aku juga
satu-satunya anak perempuan dikeluarga kami. Ibuku sibuk dengan pekerjaannya,
pergi pagi dan pulang malam. Begitu juga dengan bapakku, dia juga sibuk dengan
tambangnya, biasanya dia pulang dua hari sekali hingga aku jarang bertemu
dengannya. Segala fasilitas diberikan orang tuaku kepadaku, mulai dari mobil,
handphone mahal, laptop dan pakaianku juga selalu pesan dari luar negeri.
Dengan segala kemewahan itulah membuat aku tak pernah memandang teman-teman
yang lain itu mulia, selalu saja aku mentertawakan, selalu mencari kelemahan
untuk menghina mereka.
Namun, waktu tak selamanya berada pada porosnya, ia kan tetap
berputar seperti roda. Terus bergulir tanpa berhenti, Hingga suatu hari aku merasakan
sedih yang tak pernah kurasakan selama hidupku, aku lupa saat tertawa bahagia bersama temanku bahwa dibalik tawa akan ada
yang namanya duka, aku juga terhanyut dalam nuansa kemewahan yang membuatku
menyombongkan diri. Hingga kini aku berada pada masalah yang begitu besar untuk
kuhadapi. Caraku menyikapi masalahku hanya dengan mengurung diri dikamar.
Pagi itu sewaktu aku mau berangkat kesekolah aku bertemu seorang
bapak disupermaket yang umurnya kira-kira 50-han, dia banyak bercerita
kepadaku, kebetulan pagi itu sebelum
berangkat kesekolah aku membeli snack. Ceritanya memang tak enak sekali
kudengar, karena ini menyangkut masalah hidupku, masalah usul asalku. Aku terus
bertanya-tanya sendiri dalam hatiku tentang pernyataan bapak itu tadi. Sampai tak
habis fikirku menanyakan hal itu.
Aku makan pun menjadi tak selera,
aku hanya diam sendiri, hari itu juga aku tak pergi kesekolah. Aku yang selalu
tertawa bahagia bersama dua orang temanku disekolah, tapi kini aku harus
meneteskan air mata yang bagiku ini pertama kali aku menangis.
Aku teringat dengan kata-kata bapak
yang kutemui disupermaket itu, yang mengatakan bahwa aku bukan anak kandung
dari ibuku. Hatiku terus bertanya-tanya tentang itu, siapa sesungguhnya orang
tuaku. Apakah bapak yang kutemui disupermaket itu hanya membohongiku, atau
barang kali bapak itu hanya bergurau kepadaku. Segala bentuk jawaban mulai
berdatangan dikepalaku. Semua nya menjawab bahwa aku benar-benar anak ibu yang
selama ini membesarkan ku. Namun, ada juga jawaban yang meyakinkan bahwa aku
anak adopsi.
***
Suasana dirumah sedikit ramai, karena malam itu bapakku datang
dari tempat kerjanya, setelah dua hari dua malam pergi meninggalkan rumah.
“Ranti.. keluar sini bentar,”
panggil bapakku dari luar
“Iya pak, sebentar Ranti lagi
berkemas,” jawabku dari kamar
“Buruan ya,” kata bapakku kembali.
“Ya Pak,” kataku sambil bercermin
dikamar,karena mataku masih kelihatan merah habis nangis.
Aku melangkah kan kaki keluar dari
kamar, detik jam diruang tamu terus bergulir. Warna-warni lampu yang menghiasi
sudut ruang tamu terasa berlawanan dengan apa yang kurasakan saat itu. Suara TV
yang ada dihadapanku tak menyurutkan semua perasaanku menjadi bahagia. Aku
menempatkan posisi dudukku jauh dari bapakku, tapi bapakku memanggilku dan
menyuruhku duduk dekat disampingnya.
“Ran,,kamu tahu ini apa,” tanya bapakku sambil menunjukkan satu
kotak kecil.
“Ranti tidak tahu itu apa, memangnya itu apaan sih Pa,” tanyaku
ingin tahu.
“Ini adalah hadiah untukmu Ranti, kan dulu kamu juga yang minta,”
jawab bapakku sambil memberikan kotak kecil itu kepadaku.
Aku pun membuka pelan-pelan kotak kecil yang dibungkus dengan
kertas kado itu. Rasa penasaran semakin memuncak dibenakku. Setelah bungkus
kado itu terlepas habis, kelihatan jelas olehku ternyata hadiah yang diberikan
oleh bapakku adalah sebuah kunci mobil.
Memang dulu aku pernah minta ganti mobilku dengan yang baru,
karena aku merasa disaingi oleh dua orang temanku. Bapakku memang selalu
menuruti apapun permintaanku, hanya saja aku yang salah balas terhadapnya,
segala kemewahan yang diberikannya kepadaku malah ku balas dengan nilai sekolah
yang rendah, dan aku juga selalu mendapat hukuman disekolah karena tingkahku.
Aku hanya mampu tersenyum melihat apa yang ada ditanganku
sekarang. sedangkan ibuku dari kejauhan juga ikut tersenyum melihatku. Bapakku
pun mendekatiku, dan selalu berpesan kepadaku dengan dibelikannya aku mobil
baru ini agar aku selalu belajar lebih giat, karena kalau nilai ujian akhir
nanti bagus aku akan dikuliahkan oleh bapakku ke Australia. Aku hanya menganggukkan
kepalaku mengiakan tanda setuju.
Masalah yang kuhadapi saat ini belum bisa kuceritakan kepada ibu
dan bapakku, karena aku takut mereka memarahiku. Aku bergegas menuju kamar
dengan alasan aku banyak tugas dari sekolah.
Dikamar aku hanya merenung kembali, sambil menatap keluar dari
jendela kamarku, tiba-tiba ibu menyentuh pundakku dengan pelan.
“Ibu.. ,”sapaku sedikit kaget
“Kamu kenapa Ranti, sepertinya kamu sedang ada masalah. Tak
biasanya ibu lihat kamu seperti ini,”kata ibuku sambil mengelus pundakku.
“Tak ada kok bu, Ranti baik-baik saja,” kataku pada ibu, walau aku
tahu aku berbohong padanya.
“Ranti,kamu tidak suka ya dengan hadiah yang diberikan bapakmu
tadi,” tanya ibuku sambil duduk diatas kasur tempat tidurku.
“Tidak bu, Ranti senang sekali, apalagi hadiah yang diberikan bapak
ini sudah lama Ranti mimpikan,” jawabku mengalas-ngalaskan.
“Ya udah dech Ran, kamu belajar sana katanya tadi mau belajar,”
kata ibuku sambil beranjak dari kasur tempat tidurku.
“Ya bu,” jawabku
Ibupun melangkah kan kakinya keluar
kamarku, aku hanya memperhatikan langkah ibu yang pelan-pelan menjauh dariku.
Aku kembali memandang lepas kearah luar jendela kamarku, selalu kutanyakan
tentang siapa aku sesungguhnya. Aku memang tak habis fikir dibuatnya, air mataku
menetes dengan sendirinya tanpa harus kupaksakan menangis. Ku ambil pena dan
selembar kertas putih lalu kutulis.
“Seperti
apa yang kurasa sekarang mungkin tak dapat untuk ku gambarkan dengan perasaan
apapun, hanya ada air mata yang menjadi jawaban apa yang terjadi di atas
kisahku ini. Segala kekuatan yang kutanamkan dalam diriku seakan tak mampu
membendung air mataku yang terus memaksa ingin keluar dari pelipis mataku. Aku
tak sekuat waktu tadi sebelum perasaan ku remuk dan hancur seperti ini. Langkah
kakiku hanya mampu menyusuri puing-puing akan kehancuran seluruh perasaanku,
bagaikan tersapu ombak yang memecah berderai, seperti guncangan angin yang
tiba-tiba harus melayangkanku ke arus yang pahit. Aku tak bisa bernafas dengan
perasaan lega, seakan seluruh nafasku masih dihuni oleh dahaga duka yang belum
pergi hingga saat ini. Lelah sudah rasanya aku melangkah untuk meninggalkan
semuanya, kupejamkan mataku dengan harapan agar aku bisa sedikit melupakan apa
yang terjadi. Namun, sayang seribu sayang semua yang ingin kulupakan malah
semakin bersemayam dan semakin menyiksaku dengan segala yang ada. Kemana lagi
harus kulangkahkan kakiku pergi untuk mengadu bahwa aku ingin melupakan
semuanya. Dimana lagi tempat untuk ku bersandar dan mengeluh dengan semua yang
membuatku sedih berkepanjangan hingga kini.”
Siapa aku,
siapa orang tuaku. Mungkin dengan mendapat jawaban itu aku baru tenang dari
segala masalah yang kuhadapi saat ini. Aku ingin tersenyum kembali seperti
kemarin saat semua ini belum datang padaku.”
Setelah tulisan itu selesai ku tulis, aku pun perlahan memejamkan
mataku. Tulisan itu kudekap erat sampai membuat aku tak sadar diri, bahwa aku
telah terlelap tidur.
***
Mentari pagi
menyinari kelopak jendela kamarku, suara burung kesayangan bapakku juga ikut
berkicau diteras rumah. Aku melangkahkan kaki keluar dari kamar untuk bergegas
kesekolah, karena saat itu sudah tepat pukul 06. 35 wib.
“Ran,,kamu tidak
sarapan dulu, sebelum berangkat kesekolah,” tanya ibuku sambil menyiapkan
sarapan dimeja makan.
“Tidak bu, Ranti
takut telat. Ranti sarapan disekolah saja nanti,” jawabku dengan memberikan
senyuman kepada ibuku.
“Ya sudah, kamu
hati-hati dijalan ya,” kata ibuku sambil mendekatiku.
Akupun menyium tangan
ibuku, segera pamit untuk pergi kesekolah. Dengan senyum yang lebar ibu ikut
mengantarku kedepan. Akupun melajukan mobilku menuju sekolah.
Baru hari ini, aku
disekolah seperti orang asing. Aku tak bergabung dengan temanku yang lain.
Mereka pun menjadi heran melihat sikapku yang dari pagi hanya terdiam dibangku
kelasku.
“Ranti,, pake mobil
baru ke sekolah, tapi kok nyampai kesekolah jadi bengong ya,” kata salah satu
temanku.
“Bengong apa, dia
kehabisan bensin kali dijalan tadi, dan sekarang diam karena kecapean,” kata
temanku yang kedua.
“Udah ah, aku hari ini
mau diam aja, aku tak mau ikut dengan kalian biarkan aku sendiri disini,”kataku
sambil mengacungkan jari telunjukku menyuruh mereka menjauhi ku.
“Ya udah, tak masalah
bagi kami,” kata mereka serempak.
Aku hanya terdiam,
tak sabar rasanya aku ingin pulang kerumah. Karena disekolah pun fikiranku
tetap saja memikirkan hal itu.
Bel tanda jam pulang
pun tiba, aku berjalan paling depan untuk pulang. Teman-teman sekelilingku
menatapku dengan heran hari itu. Karena biasanya aku pulang paling akhir tapi
hari itu aku pulang paling depan sekali. Mereka tak tahu apa yang kupendam
sekarang, yang mereka tahu aku hanyalah orang yang suka membuat keributan.
Tampak dari jauh,
sebelum sampai diparkiran mobilku. Aku melihat seorang ibu yang duduk sendiri
dengan menadahkan mangkok kepada setiap orang yang lewat dihadapannya. Entah
ada sentuhan apa dihatiku saat itu, aku memberikan uang jajanku kepada orang
tua itu. Padahal hari-hari lain sebelum masalah itu datang kepadaku, aku sering
mengolok ibu itu, menertawakannya dengan kedua orang temanku. Kami bilang ibu
itu bau, jelek, kumal, kotor bahkan aku juga sering melempari ibu itu dengan tisu
bekas keringatku.
“Terima kasih ya nak,
semoga Tuhan menunjukkan jalan yang terbaik bagimu,”kata ibu itu sambil mencium
uang yang kuberikan padanya.
Aku tak menjawab
kata-kata ibu itu, aku langsung bergegas melangkahkan kaki menuju parkiran. Ku
pacu mobilku dengan kencang supaya aku cepat sampai dirumah.
Sampai dirumah
kudapati ibu sedang duduk sendiri diruang tamu, sepertinya ibu sedang
memikirkan sesuatu.
“Ibu tak masuk
kerjakah hari ini,” tanyaku sambil menyimpan tas diatas meja.
“Tidak Ran, ibu hari
ini kebetulan lagi libur,” jawabnya sambil tersenyum.
Aku duduk tepat
disamping ibuku,dengan wajah yang penuh tanda tanya akupun mulai ingin bertanya
dengan ibuku. Karena desakan batinku yang terus memaksaku untuk menanyakan apa
yang menjadi pertanyaan besar bagiku saat ini. Namun, tiba-tiba ibuku
menyuruhku makan siang, pertanyaan yang sudah siap ingin kutanyakan semuanya
hilang. Aku pun langsung menuju meja makan, kebetulan aku memang sedang lapar.
Ibu pun duduk
disampingku, sambil memperhatikanku dengan teliti. Selesai aku makan, ibu pun
masih tetap memperhatikanku. Aku tak menyangka kalau ibu juga memikirkan hal
yang sama dengan yang kufikirkan saat itu.
“Ran,,darimana kamu
tahu tentang siapa orang tua kandungmu, dan mengapa kamu juga tahu kalau kami
bukan orang tua kandungmu,”tanya ibu.
Aku terdiam,
tertunduk, mataku melotot kaget. Aku bertanya sendiri dalam hatiku darimana ibu
tahu tentang apa yang menjadi beban fikiranku saat ini.
“Aku tahu dari
seorang bapak-bapak bu, kemarin ketemu disupermaket,” jawabku sambil
menundukkan kepalaku kembali.
Ibu kembali mengusap
pundakku, menyabarkanku.
“Ibu tahu ini, dari
tulisan yang ada diatas kasurmu, kebetulan tadi pagi ibu tak sengaja
melihatnya. Kemudian ibu membacanya,” kata ibuku.
Aku merasa serba salah, sebenarnya aku
ingin pertanyaan itu langsung kutanyakan bukan malah ibu tahu dulu tentang itu.
Aku tak bisa memutar waktu untuk kembali lagi, yang jelas kenyataannya sekarang
ibu sudah tau apa yang membuatku sering mengurung diri.
“Tapi ibu mau
jujurkan kepadaku,’ tanyaku kepada ibuku.
“Biar ini mendapat
kejelasan, dan kamu pun ingin dapat jawabannya, tunggu nanti bapakmu pulang
dari pasar,” kata ibuku.
Aku langsung
melangkah menuju kamar, dengan alasan aku mau ganti pakaian kepada ibuku.
***
Malam pun tiba,
malam itu tak seperti malam biasanya yang selalu terdengar suara Tv, dan juga
biasanya malam-malam yang lalu terdengar ramai oleh suara adik-adikku bermain.
Namun, malam ini semuanya terdiam, yang ada hanya bunyi dentingan jam. Aku
duduk disebelah adik keduaku, kulihat dari depanku ibu dan bapakku sudah lama terdiam
menunggu kehadiranku diruang tengah. Sepertinya ibu juga telah bercerita kepada
bapak tentang apa yang mau kutanyakan kepadanya saat ini.
Suara deringan
handphone bapakku memecah keheningan, yang semula semua terdiam, kini aku
menoleh kearah bapakku. Ternyata ada pesan singkat masuk kehandphonenya. Bapakku
pun membacanya diam-diam, entah apa isi pesan itu aku juga tidak tahu.
“Ran,,bapak sudah
tahu apa yang menjadi masalah besar bagi kamu saat ini, bapak juga sudah
mendapat cerita dari ibumu tadi siang,” kata bapakku sambil menatapku.
“jadi
Pak, siapa orang tua Ranti sesungguhnya,” kataku sambil mengelus air mataku
yang tiba-tiba menetes.
“Ran,semua ini
sudah berjalan 16 tahun yang lalu. Memang benar kamu bukan anak kandung ibumu.
Tapi kamu sudah kami adopsi sejak kamu berumur sepuluh hari, kedua orang tua
kamu masih hidup Ran, ” kata bapakku menjelaskan kepadaku.
Aku tersentak, air
mataku mengalir tanpa ada batas hentinya. Ia terus mengalir bersama tangisku
yang terisak-isak. Jadi memang benar, aku bukan anak kandung dari ibu yang
selama ini membesarku. Aku dibesarkan dengan segala kemewahan tapi bukan dari
orang tua yang telah melahirkanku. Aku tak dapat menahan air mataku, hingga ibu
pun mendekatiku dan menyuruhku sabar untuk mengahadapi kenyataan ini.
Keesokan paginya,
ibu dan bapakku mengajakku pergi kesuatu tempat, yang tempatnya tak pernah diberitahukannya
kepadaku. Aku hanya menuruti mereka, tanpa mau bertanya lagi kemana mau pergi.
Mobil yang dikemudikan bapakpun melaju keluar dari halaman rumahku.
Tepat pukul 08.30 bapakku pun menghentikan mobilnya
disuatu tempat yang bagiku tempat itu adalah tempat untuk para penjahat. Tempat
yang menampung para tangkapan polisi, tempat untuk orang-orang yang melanggar
hukum. Ya, tempat itu adalah lapas,sebuah lembaga permasyarakatan terbesar
dikotaku.
Aku menarik nafas
panjang, lalu kehembuskan dengan pelan-pelan. Dalam hatiku terus bertanya,
untuk apa bapakku membawa aku kesini. Kenyataan tak seperti dugaanku, disitu
aku dipertemukan dengan seorang lelaki yang umurnya kira-kira 50 tahun. Dengan
tatapannya yang tajam, dengan pakaian yang seadanya lelaki itupun terus
menatapku. Sedangkan bapak dan ibuku hanya diam, dan sepertinya mereka juga
mengenali orang itu.
“Ran, ini Pak Adi.
Bapak kandungmu, yang telah menitipkan kamu dari kecil kepada kami,”kata
bapakku sambil memegang pundak orang itu.
“Bapakku,” aku
sedikit kaget mendengar pernyataan bapakku seperti itu.
“Ya Ran, dialah
bapakmu,”jawab ibu meyakinkanku.
Aku menangis
meneteskan air mata pilu, kudekap tubuh bapak kandungku, ia pun membalas
dekapanku. Tangis haru bercampur bahagia menyatu menjadi satu saat itu. Tanda
tanya yang melekat dibenakku tentang siapa orang tuaku kini terjawablah sudah.
Aku mendekap bapakku dengan sekuat-kuatnya,melepaskan rindu yang bertahun-tahun
tak pernah berjumpa. Kemudian aku pun melepaskan pelukanku.
“Ibu dimana Pak,” kataku
sambil mengusap air mata dipipiku.
“Ibu kamu sebentar lagi datang untuk
mengantari bapak makan siang disini,” jawab bapak kandungku.
Dari kejauhan kulihat sosok wanita yang
berjalan menuju kearah dimana kami berdiri, dengan satu kantong hitam yang
dijinjingnya. Aku menatap kearah wanita itu, begitu juga dengan Pak Adi dan kedua
Orang tuaku,mereka juga ikut memperhatikan wanita itu. Wanita itu semakin
mendekati kami, hingga semakin dekat jarakku dengannya. Wajahnya yang tak asing
bagiku membuatku mengingat kembali, dimana aku pernah bertemu dengan wanita
itu? Fikirku melayang-layang untuk mengingat wajah wanita itu. Aku pun teringat
kejadian disekolah, bahwa aku sering menghina dan mengolok wanita itu, hingga
hari terakhir aku bertemu dengannya aku memberinya uang jajanku.
“Ini ibumu,”Pak Adi pun memeperkenalkan
wanita itu kepadaku.
Air mataku tak dapat kutahan lagi,
begitu jahatnya aku sebagai manusia. Hingga orang yang sering
kuolok-olok,kutertawakan bahkan sering kulempari tisu bekas keringatku sendiri
itu adalah ibu kandungku. Rasa penyesalan mendalam hadir dalam hidupku saat
itu. Aku pun semakin kencang menangis, kupeluk wanita itu yang ternyata adalah
ibu. Kupeluk erat, berkali-kali kucium keningnya.
Sembah sujudku dihapannya untuk
memohaon ampun atas apa yang selama ini telah kuperbuat kepadanya. Kucium telapak
kaki ibuku. Sambil aku berdoa, “Ya Tuhan
ampunilah dosaku kepada kedua tuaku, aku tau selama ini aku telah banyak
melakukan kesalahan besar kepada mereka,ampuni aku, maafkan atas semua dosaku
ya Tuhan.”
Aku baru sadar, bahwa segala yang kumiliki
saat ini bukanlah pembeda dari yang lainnya. Harta dan segala kemewahan yang
kupunya bukan milikku selamanya melainkan hanya titipan. Walaupun aku tahu
orang tua kandungku bukan siapa-siapa, tapi dimataku kini merekalah yang
terbaik. Aku kembali kejalan-Mu Ya Tuhan, aku akan menjadi orang yang selalu
mensyukuri sagala nikmat-Mu. Tuhan ampuni aku yang begitu banyak dosa ini,
ampuni juga dosa kedua orang tuaku yang melahirkanku, kedua orang tuaku yang
membesarkanku. Bantu mereka dalam setiap masalah yang hadir diantara mereka.
Selepas kejadian itu, aku seperti baru
dilahirkan kembali kedunia ini. Hidupku yang semulanya bergelut dengan harta
dan kemewahan kini perlahan kutinggalkan. Walau aku masih tinggal dirumah orang
tua angkatku yang telah membesarku, tapi aku berubah seratus derajat. Segala
kemewahan yang menggelutiku kini semua tak pernah untuk ku gunakan lagi. Aku
ingin menjadi seperti orang lain, dengan segala kesederhanaan namun hati tetap
selalu bersyukur dengan segala nikmat Tuhan yang telah Ia limpahkan. Tak lupa
aku meminta maaf kepada kedua orang tuaku yang telah membesarkanku, kepada
teman-teman disekolahku, dan juga kepadaku guruku. Aku akan berjanji pada
diriku sendiri bahwa aku ingin menjadi anak yang bisa membanggakan orang tua dirumah.
Khususnya untuk kedua orang tua kandungku, dan juga untuk kedua orang tua
angkatku. Aku ingin mereka bangga denganku, tersenyum manis dihadapanku berkat
prestasi yang kuraih.
0 comments:
Posting Komentar