Entah apa yang membuatku malam ini begitu rindu dengan keluargaku
dikampung. Setelah lima belas tahun aku merantau meninggalkan rumah tiba-tiba
baru saat ini aku merasakan ada desakan yang membuatku rindu dengan kampung halamanku.
Memang kusadari setelah kepergianku melangkahkan kaki dari rumah, aku tak
pernah memberi kabar keluargaku, terutama memberi kabar kepada kedua orang
tuaku. Baru kusadari bahwa aku begitu tega dengan keluargaku disana, aku tahu
mereka disana selalu merindukan kehadiranku, setiap saat selalu menantikan
kabarku, biar tahu bagaimana keadaanku. Namun, aku disini tak pernah memikirkan
apa yang mereka pikirkan, sungguh jahatnya aku sebagai anak harus melupakan
orang tuaku.
Tangis yang keluar dimataku malam ini mungkin adalah sebuah
penyesalan setelah pergi meninggalkan rumah selama lima belas tahun. Air mata
yang menetes ini bukanlah air mata biasa yang kuteteskan saat aku menangis
karena gajiku tak dibayar. Namun, air mataku kali ini adalah air mata penuh
dosa, yang telah melupakan orang tuaku dikampung.
Malam ini mataku tak bisa tertidur, aku selalu teringat dengan
kedua orang tuaku dirumah. Dalam hatiku yang terdalam terasa mendapat panggilan
yang besar untuk kembali.
“Ya Tuhan ada apa gerangan semua ini, ada apa dengan keluargaku
disana yang membuatku tiba-tiba rindu,” tanyaku dalam hati sambil tersandar
duduk.
Jam ditanganku tepat menunjukkan pukul 00.00 aku pu keluar dari
kamar melewati kamar-kamar rekan kerjaku, aku membawa semua barang-barangku dengan
sebuah ransel. Pelan-pelan kulangkahkan kakiku agar tak terdengar oleh yang
lain. Kutelusuri jalan kota dengan berjalan kaki, letih dan jauh tak pernah
kuperdulikan. Aku malam itu ingin rasanya secepat-cepatnya pulang menuju
kampung halamanku. Walaupun jauh kuberjalan menuju dermaga kapal, namun malam
itu semuanya tak pernah kuhiraukan. Aku tak pernah peduli dengan pekerjaanku,
padahal hari ini aku harus datang kebagian bendahara perusahaan untuk mengambil
gajiku bulan ini. Semua itu tak membuat niatku surut untuk pulang, aku tahu
setelah lima tahun aku jauh dari rumah baru kali ini aku mempunyai desakan yang
begitu dahsyat.
Dermaga kapal pun dapat kutempuh setelah berjalan kaki selama tiga
jam, penat dan letih membuatku tersandar dikursi tempat pengantrian pembelian
tiket kapal.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan dua orang yang tak
pernah kukenal sebelumnya, dua orang itu terus menarik tas kecil yang kugendong
dipundakku.
“ Woi..ada apa ini main tarik-tarik,”kataku kaget.
Mereka berdua terus memaksa menarik tasku hingga tali yang
menggantung dipundakku terputus. Aku tak bisa berbuat apa-apa, sementara teman
yang satunya memegang erat tubuhku, hingga aku tak bisa bergerak. Salah satu
temannya mengambil tas kecilku itu yang didalamnya berisi uang, dan kartu
identitasku. Mereka berdua berlari selesai mendapatkan apa yang mereka
inginkan, sementara aku hanya tegeletak ditanah.
Matahari pagi pun mulai muncul diufuk timur, aku tak tahu
bagaimana untuk pulang sedangkan uang untuk ongkosku pulang raib diambil
pencopet. Aku hanya terdiam sambil memperhatikan orang-orang yang mengantri
tiket. Teriris pilu dihatiku, aku hanya menundukkan kepala sambil memegang
ranselku.
“Inikah cobaan yang
kuhadapi untuk pulang kerumah, Ya Tuhan mengapa cobaan ini begitu berat
kurasakan,” bisik hatiku yang terdalam.
Ku perhatikan kapal pun mulai berangkat dari dermaga, hati ku
menangis pilu. Tak dapat kubendung air mataku yang menetes melihat kapal itu
berangkat. Seharusnya aku ada dalam kapal itu, seharusnya aku cepat sampai
dirumah. Kupejamkan mataku, lalu kutadahkan wajahku kelangit, kutatap matahari
yang mulai bersinar dengan terik, kutarik nafasku dengan mendesah ku hembuskan
pelan-pelan agar sedikit perasaanku bisa tenang. Aku tak mungkin harus kembali
keperusahaan dimana aku berkerja, karena kepulanganku secara diam-diam ini
pasti sudah diketahui oleh bos dan rekan kerjaku karena melihat isi kamarku
yang kosong.
Hatiku terus menangis meratapi apa yang terjadi padaku, tiba-tiba
pundakku ditepuk dari belakang oleh seorang lelaki tua yang umurnya kira-kira
sama dengan Ayahku dirumah. Ia bertanya kepadaku mengapa aku menangis seperti
itu, akupun cerita kepadanya dengan apa yang baru kualami. Dengan niatnya yang
tulus akhirnya lelaki tua itu mau membantuku mencarikan aku pekerjaan sementara
untukku bertahan hidup disitu. Akupun berjalan mengikuti langkah lelaki tua
yang baru kukenal itu. Alhamdulillah, aku dipertemukan dengan anaknya yang
mempunyai satu proyek kerja bangunan. Aku pun ikut kerja pada hari itu juga.
Tanpa pernah berfikir lagi segala resikonya, tawaran anaknya pun langsung ku ia
kan, karena aku memang butuh pekerjaan untuk mendapat uang agar aku bisa
kembali kerumah.
***
Lima belas hari aku ikut berkerja membuat bangunan walet tak jauh
dari dermaga, dengan gaji yang cukup untukku, hari itupun aku langsung
memutuskan untuk pulang. Karena hatiku yang terdalam sangat merindukan kedua
orang tuaku. Sebelum aku pulang aku tertunduk merendahkan diri dihadapan Tuhan,
kujatuhkan badanku bersujud untuk mensyukuri hikmah yang telah ia curahkan
untukku.
Pagi pun menjelang ditepi dermaga, aku bergegas menuju kapal
setelah mendapatkan tiket masuk. Senyum terakhir terpancar dari lelaki tua yang
telah menampungku lima belas hari didermaga itu. Akupun melambaikan tanganku
kepada nya. Dengan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadanya, kemudian
kapalpun mulai menjauh dari dermaga.
Aku duduk disudut kapal yang perlahan semakin jauh meninggalkan
dermaga. Kutatapi potret ibu dan bapakku yang masih tersimpan didompetku.
Terisis kembali hatiku, aku semakin tak sabar mau secepatnya datang kerumah
bertemu mereka. Ingin rasanya kuungkapkan sejuta rindu yang kini ku bawa untuk
mereka. Perjalanan pun semakin jauh, hingga yang dapat kupandang hanyalah
lautan yang luas, hanya ada gelombang yang berlari berkejaran kemudian memecah
terhempas didinding kapal.
Menjelang azan subuh, kapal yang membawaku sudah berlabuh
didermaga kota kelahiranku. Raut mukaku pun bertambah jadi bahagia melihat
lampu-lampu kota yang bersinar, yang ditemani sahutan kokok ayam yang bagiku
ini baru kudengar lagi setelah lima tahun aku meninggalkan kota kelahiranku.
Akupun bergegas keluar dari pintu depan kapal yang menumpangiku, segala penat
yang kurasa, mabuk laut yang sempat kurasakan tak pernah kufikirkan karena
besarnya desakan rindu yang membawaku untuk pulang kerumah.
Matahari mulai menyinsing dibelakangku, aku mencari ojek untuk
menuju kerumahku. Perjalanan dari dermaga menuju rumahku pun dapat kutempuh,
hingga tak beberapa lama aku sudah berada tepat dihalaman rumahku. Melihat
halaman rumahku, melihat rumah yang jauh sudah berubah, yang dulunya masih
tegap berdiri dengan kayu penyangga yang kuat, tapi kini mulai luntur dimakan
waktu, warna dinding yang telah memudar, tiang-tiang rumah yang mulai
dihinggapi binatang yang melapukkan. Lima belas tahun kutinggalkan kini sudah
banyak perubahan, dulu aku melangkah pergi dari rumah masih berumur belasan
tahun tapi kini aku pulang sudah hampir tiga puluhan. Sebelum aku melangkah
masuk kedalam rumahku, aku teringat lima belas tahun yang lalu. Saat ayahku
mengusirku pergi dari rumah, ibu hanya menangis ditepi pintu melihat
kepergianku. Memang kesalahan itu ku kubuat sendiri. Aku terlalu egois pada
diriku sendiri dengan lari dari kenyataan yang seharusnya kupertanggung
jawabkan.
Pelan-pelan kulangkahkan kakiku masuk kedalam rumah, kuketuk pintu
yang mulai berdebu dimakan waktu. Kuletakkan ransel pakaianku, kembali kuulangi
mengetuk pintu agar aku segera dibukakan. Anak perempuan kira-kira berusia 14
tahun membukakan aku pintu rumah.
“Ada apa ya om” katanya sambil menatapku heran.
“Rumah ini ada orangnya kah,” jawabku sambil membalas tatapannya.
“Oya om, orang rumah ada kok, nenek lagi dikamar,” jawabnya sambil
mempersilahkan aku masuk.
Aku merasa heran sekali dengan jawaban gadis kecil itu yang
mengatakan dan menyebut ibuku adalah neneknya. Padahal aku tahu aku adalah anak
satu-satunya dikeluargaku. Kalau anak sepupuku juga tidak mungkin mau tinggal
dikampung seperti ini, bisikku dalam hati.
Aku terus mengikuti langkah gadis itu menuju kamar tempat ibuku.
Kemudian gadis kecil itupun mempersilahkan aku masuk kekamar. Kulihat dari
celah-celah kelampu putih yang terang tampak seorang perempuan terbujur di atas
kasur, ya dialah ibuku. Aku langsung mendekap tubuhnya erat tanpa berkata
terlebih dahulu. Aku tahu saat itu ibuku pasti heran dengan kedatanganku yang
tiba-tiba memeluknya sambil menangis. Aku tak henti-hentinya menangis tersedu.
“Siapa kamu tiba-tiba menangis memelukku,” kata ibuku sambil
tangannya menjauhkan tubuhku darinya.
“Aku Aldo bu, Aldo anak ibu yang lima belas tahun pergi
meninggalkan Ibu,” jawabku terisak-isak.
“Aldo,”
Ibuku pun terus mendekapku erat, kutahu dia sangat merindukan
kehadiranku. Setelah belasan tahun aku pergi baru sekarang bertemu kembali. Aku
pun mencium keningnya, air mataku yang terus menetes membuat tangan ibuku
bergerak untuk menghapus air mataku. Suasana dalam kamar saat itu memang
mengharukan, ditambah tangisku yang kuat. Aku pu mencium kedua tangan ibuku dan
meminta maaf atas apa yang telah kulakukan selama ini kepadanya.
Sementara gadis kecil yang duduk disebelah kiriku hanya menatap
heran, sedikit air matanya juga ikut terjatuh menyaksikan keharuan tangisku dan
tangis ibu yang menyatu. Dia hanya menatapiku dengan seribu tanda tanya,
mungkin juga saat itu dia bertanya siapakah aku. Mungkin juga dalam fikirannya
bertanya mengapa aku menangis seperti itu?
Ibupun duduk disamping kananku, lalu ibu memanggil gadis itu untuk
duduk dekat disampingku.
“Suci, kesini dekat nenek,” kata ibuku sambil mengusap pelan
tetesan air matanya.
“ Ia nek,”jawabnya polos.
Gadis itupun mendekatiku dan duduk berdampingan denganku.
“Suci, kamu tahu nak ini siapa,” tanya ibuku kepada gadis itu.
“Aku tidak tahu nek,”jawabnya singkat.
“Inilah bapakmu Suci,” kata ibuku sambil memegang pundakku.
Aku tersentak kaget, gadis kecil yang penuh dengan kepolosan itu
ternyata adalah anakku. Anak yang kutinggalkan pergi lima belas tahun dari
rumah, karena dengan alasan aku tak ingin menikahi ibunya. Hatiku yang terdalam
menyimpan seribu sesal yang tak dapat kuungkapkan dengan apa-apa. Aku hanya
bisa menatapi wajah polos gadis itu dengan seksama.
Akupun memeluk gadis itu sambil menangis, kuciumi rambutnya yang
hitam dan lebat itu. Kubelai dengan segala curahan kasih sayang yang selama ini
tak pernah kuberikan kepadanya.
“Suci, maafkan aku, maafkan aku untuk semua salah yang tak
terhitung kepadamu,”kataku sambil menangis.
Gadis kecil itu hanya bisa menangis dipelukanku.
Ibu mengusap pundakku dari belakang, aku rindu sekali dengan
usapan ibu kepadaku seperti itu. Terasa usapan ibu yang kali ini adalah usapan
ibu yang dulu saat membangunkan aku diwaktu pagi dari tidur malam.
“Ayah kemana bu,” kataku sambil melepas pelukanku terhadap gadis
itu.
Ibu hanya terdiam sejenak mendengar pertanyaanku seperti itu.
“Ayah kamu sudah meninggal saat kepergianmu menginjak delapan
bulan,” kata ibuku sambil menangis kembali.
Aku kembali menjadi lemas, terasa berdosanya aku sampai ayahku
meninggal aku tak berada disampingnya.
“Ya Tuhan ampunilah aku yang begitu banyak melakukan kesalahan
ini, ampuni dosa kedua orang tuaku ya Tuhan,” doaku dalam hati.
Aku merengkuh Suci dan ibuku, mendekap mereka lewat kiri dan
kananku. Kami bertiga menangis serempak, tak ada yang bisa tahu betapa keharuan
hadir diantara itu. Tangisku yang haru akan rindu bercampur menjadi satu
setelah tahu bahwa ayahku teah meninggal.
Aku bertanya kepada ibuku tentang Ibu Suci yang telah
melahirkannya.
“Dina kemana bu, kok hanya suci disini,” tanyaku kepadaku ibu
“Ibu sudah tidak ada Pak, ia meninggal saat melahirkan Suci,”jawab
Suci sambil menangis.
Hatiku semakin merasa terpukul, lima belas tahun berlalu pergi
tanpa kabar. Bukan hanya dinding dan tiang rumah yang lapuk, melainkan anggota
keluarga dan orang tersayang bagiku juga telah pergi untuk selamanya. Aku hanya
bisa menyesali semua yang telah lalu tanpa harus bisa memutar waktu untuk
kembali seperti dulu. Saat semuanya tertawa bersamaku, dan saat semua ada
didekatku.
Aku begitu banyak dosa kepada ibu dan ayahku dengan meninggalkan
mereka dari rumah. Aku terlalu mengikuti arah nafsuku. Aku juga berdosa kepada
Dina yang hamil tak kunikahi hingga kini lahir anak dari hubungan kami dulu
bernama Suci. Seandainya dulu aku mau menikah dengan Dina, mungkin aku takkan
pergi meninggalkan rumah setahunpun. Aku juga akan hadir saat ayahku sakit sampai
ia menghembuskan nafas terakhirnya. Tapi itu hanya sebuah penyesalan, waktu
takkan dapat lagi kuputar.
Tiba-tiba suci mendekatiku dan memberikan selembar kertas
kepadaku. Lalu akupun membuka lipatan kertas itu dan tertulis dengan tulisan
tangannya sendiri.
Andai dunia
ini ada dalam pelukku.
Mungkin
engkau tahu apa yang ku rasakan sekarang.
Segala
kerinduan akan hadirmu disisiku.
Segala
kehangatan yang kami dambakan dari hangatnya pelukanmu.
Dapat kau
rasakan seperti apa yang aku rasakan.
Tapi dunia
luas memisahkan kita, hingga hadirmu tak dapat kusentuh.
Hanya ada
bayanganmu yang selalu terlintas dalam benakku.
Engkau
anakku, selalu kurindukan untuk menemaniku masa tuaku.
Beribu
jarak dan beribu waktu yang kau tempuh.
Beribu
pulau dan beribu jembatan yang kau lalui.
Tidakkah
membuat hatimu berpaut rindu untuk kembali.
Pulanglah
Aldo.
Kembali
dalam pelukanku.
Aku menangis membaca kata-kata ibuku yang ditulis Suci yang
diberikannya kepadaku. Ternyata aku memang mendapat panggilan untuk kembali
kerumah, hingga membuat ku terus bersikeras untuk pulang.
Kini aku akan hidup bersama ibu dan gadis kecil bernama Suci, aku
berjanji tak akan meninggalkan mereka sampai akhir hayat yang harus memisahkan
kami.
0 comments:
Posting Komentar