Handhira Production

Halaman


">Iklan Melayang

">

Selamat Datang Di Blog Bahase Sambas

Silekan Bace Postingan Menarik Nang Ade Disito'.

Handhira Production

Subscribe My Channel.

Handhira Production

Silahkan Subscribe.

handhira Production

Selamat Membaca.

Ada beberapa Jasa JUga Disediakan

Silahkan Kontak Nomor yang Tertera.

Rabu, 23 Desember 2015

SAGALNYA KAU AJALKAN HATIKU

SAGALNYA KAU AJALKAN HATIKU

SARAP BAHARI ini aku hanya TERPERUGGUN di UGGA’ pohon TAKKANG.
TERTOGOK diam tanpa ada satu kata pun. Bibirku TERSONDOK mau bicara.
Dingatanku hanya NGELINTAU seribu bayangnya yang membuat RUNNYOK hatiku.
Dia SAGGAL MENGAJALKAN perasaan dan hatiku ini.
Dia tak pernah mengerti bagaimana AMBORnya hidupku.
Air mataku yang BELABBIK membasahi SELIPPAK mataku.akan jadi bukti BUNCAInya hidupku saat ini.
Tangisku yang KESADDO’AN akan jadi saksi betapa aku NGUGGO’ menangisinya.
Sedikit NGINTIS difikiranku untuk cepat melupakannya.
Walau Fikiranku TAK TANTU RUDU memikirkan semua yang terjadi padaku.
BETONGSEH antara perasaanku yang ingin melupakan dengan hatiku yang ingin tetap menjaganya.
Begitu banyak rasa yang SINGALLAWWAN menghantuiku.
Dia yang MENGAJALKANKU tapi dia juga yang MENGASAE’KU dengan harapan palsu.
Hatinya begitu PAJJAL hingga tiada keSAPPORannya.
Ingin rasanya aku NYALLAP air mata ini agar KASSAI tidak JAPPO’ berkepanjangan.
Memang semua ini Salahku, aku terlalu GOPOH dengan semuanya.
Paksaan cinta yang terlalu KEDADDASSAN membuat semuanya tak GOGON.
Cinta sesaat yang NENJEN dihatinya mengajarkanku arti kesetiaanku walau dibalas Luka.
Cinta sesaat yang NINGGER disudut hatinya akan jadi pengalaman berharga bagiku.
Inginku Luapkan Emosi dengan mengeREPEKinya Namun, semua tak bisa kulakukan.
Hatiku terlalu SAPPOR hingga cepat memaafkannya.
Aku tak bisa IBBOH padanya walau RATTAS hati ini olehnya.
Aku juga tak bisa dendam padanya walau ANCAI hidupku olehnya.
Tuhan kan tau jawaban terbaik untukku.
Balasan luka yang Kuterima akan jadi anugerah terindah bagiku.

Cinta Dalam Tugongngan

Cinta Dalam Tugongngan
Sarap Bahari ini aku hanya terperuggun di ugak pohon takkang.
Sian yang bisa ku ingat selain wajahnya yang selalu ngelintau di ingatanku.
Sedikit ngintis dalam otakku, sedikit Mullak dalam hatiku.
Sebenarnya ada yang nyaddal dalam diri ini.
Tentang kisah cinta dalam Tugongngan yang dulu ku alami.
Tugongngan itu sungguh memilukan, membuat mataku jadi birip-birip.


Hatiku Rasa Kena Ajalkan. Didalamnya Rasa Pajjal Sekali.
Yang Tadinya Jappo' Sekarang Jadi Kassai. Tibuncai Rasanya Perasaku, Udahlah Aku Ini Kedadassan, Rasa Nenjen Dibuatnya.
Aduh Jadi Ngallu Melihat Semuanya.
Rasa Singallawwan Hati Dan Perasaanku Merasakan Hal Ini.

Rasa Kena Ajalkan Hatiku,


Puisi Lucu Bahasa Sambas

" Begajjik Jagokmu" saat kau kedinginan.
Kuberikan kau Sehelai "Gabbar" agar kau sedikit mendapat kehangatan.
Matamu kau "Kirap-kirapkan" dan bibirmu kau "Muncongkan" tatkala kau minta sesuatu.
Pertama aku "Bussong" pun mengerti.
Bahasa isyaratmu membuatku bertanya apa maumu.
"Gasa'ang" Kau meminta "Belungkur" untukmu "Guring".
Aku pun Menuruti apa mau mu.
Kau pun mulai "Mengatupkan " matamu.
Aku hanya "Menconomi" tatkala kau tidur.
Suara "Sangngoranmu" mulai terdengar.
Aku tak pernah merasa "Ibuh" sedikitpun apalagi aku sampai "Kaleh" dari sampingmu.
Kau mulai "Meransau", kau ngomong sendiri masalah "Jarrokkan Jarring " yang kau "tapor".
Semula aku anggap "ransauanmu itu bullak".
Tapi setelah kuperiksa "Arrak pinggan " "tergogok" "Jarrokkan jarring" "Seredang tue".
wawwaww "jikku "dalam hati.
Ada "Tambol" rupanya, enak untuk di "radak" saat hujan.
Tapi aku tak kuat memakannya, aku takut "rangngangnya" itu.
Akupun hanya "menculiknya" sedikit.
Kemudian aku pergi "memaggek" kamu yang "terlempe" disana.
Aku tak sengaja melihat kearah kakimu.
Ada "amau" yang masih melekat di "Tumbikmu".
akupun mulai "bertetau" mencari air untuk membasuknya.
Kutemui "Sesuduk" air, lalu ku "timbuska" kekakimu.
Kau pun "meladde", aku terkejut dengan muka "kassang kesupannan".
Kukira engkau akan "mengerepekiku", "gassa'nya" kau malah "ngiddum" sambil berkata.
Tolong juga "bassokkan taek ayam berangnga' dikaki siballahnye".
aku pun "bercecak" menjauhimu...


"Kaddau" Hati Ini Tatkala Kau Tak Disini.
"Ndak Tantu Rudu" Fikiranku Terus Bergejolak.
Entah Apa Yang " Berselili" Di Otakku Hingga Dalam Hatiku "Teserappik" Sejuta Kata Yang Tertuju Padamu.
Aku Tak Tau Apa Yang Ku " Conomkan".
"Melengo" Dalam Kesendirian.
" Antu Nyaring" Pun Enggan Menyapaku.
Hanya Ada Suara " Keriang dan Intamar" Yang Bersenandung dalam malamku.
Kemana perginya " Kiddumanku" Yang selalu bersinar terang.
Kemana Tawaku yang "Ngakkal" setiap saat.
Kini Semua Hilang "Rammok" Bagai ditelan " Lentar Karring".
Hatiku " Rattas" Karna sendiri.
Jiwaku " Runnyok" Karna Gelisah.
Dadaku sesak hinggaku "Loyo".
Langkah kakikupun "Bagajjik"
" Ngelotek " tak bisa berjalan.
Nafasku "Terhingap-Hingap" mencari sedikit ketenangan.
Tuhan Tunjukkan jalan-Mu.
Jangan ada lagi " Seleko" hidup ini
Luruskan dan "Lanyumkan" jalanku.
Buang semua fikiran jahat yang " Niamme' " Otakku.
"Tappaslah" hati ini yang selalu berprasangka buruk.
Jagakan semuanya..
Hingga berkekalan sampai "Ka'ang" Nun Yo..

Selasa, 22 Desember 2015

Aku Mencintaimu Ibu

 “Dringngngng”
Tiba-tiba Hp ku berdering, aku langsung bergegas menuju meja ruang tamu dimana aku menyimpan Hp ku. Ku buka pesan yang baru saja masuk tersebut.
“No… kamu lama banget ni, kami sudah ngumpul dan barang pesanan kita sudah nyampai, malam ini kita pesta sampai pagi,” Pesan singkat dari temanku Aldy.
Aku langsung berkemas, aku hari itu menggunakan kemeja hitam dan celana jeans tak lupa juga jam tangan pemberian dari almarhum Ayahku dan jaket kulitku yang selalu menempel setiap hari menjadi penghangat setiap malam saat aku bergadang maupun lagi pesta bersama kawan-kawanku.
Tiba-tiba ibu menghampiriku dan bertanya.
“Reno, mau kemana kamu malam ini ? Tanya ibuku.
“Aku mau ngumpul dengan teman-teman di Warkop Bu,” jawabku singkat sambil mengikat tali sepatu.
“Reno..inikan bulan puasa, kamu beberapa hari ini tak puasa, malam nya juga kamu tidak terawih. Apa kamu lupa pesan Almarhum Ayahmu ?” Tanya Ibuku Sambil menoleh kewajahku.
Aku hanya terdiam sejenak, aku tak langsung menjawab kata-kata ibu itu.
“Bu, Reno cuma mau ngumpul aja, Masalah puasa dan terawih itu bu, kan masih ada esok. Bulan ramadhan ini masih panjang kok bu,” Jawabku kepada Ibuku.
Ibuku hanya menggelengkan kepala melihat sikapku saat itu, tanpa aku menunggu lama didepan pintu jemputanku pun datang. Dia Anto teman satu kompleks dengan rumahku, rumahnya juga tidak jauh dari rumahku.
“Bu, aku berangkat dulu,” kataku kepada ibu ku.
Kami pun langsung bergegas menuju tempat tujuan. Dalam perjalanan aku tak pernah berfikir rasa bersalah sedikitpun kepada ibuku. Aku pergi buru-buru  tak mencium tangannya. Saat itu aku memang lupa, tak seperti dulu lagi sebelum aku pergi aku selalu mencium tangannya dan selalu mengucapkan salam.
Tempat tujuan kami pun sampai, terlihat dari luar banyak motor yang sedang parkir. Suara didalam pun terdengar begitu ramai, aku dan Anto langsung masuk menuju ruangan tempat biasa kami berpesta.
“Hallo bro, “ Sapa Aldy kepadaku
“Hallo juga,” Kataku sambil bersalaman dengan gaya kami.
“Kemana aja kalian, jam segini baru sampai,” Tanya Aldy kepadaku.
“Biasa bro, jalan sini macet terus,” Jawabku singkat
Sementara teman-teman yang lain lagi sibuk menyiapkan minuman. Memang malam itu malam yang bagiku sangat indah dimana kami semua bisa kumpul. Mereka semua adalah teman-temanku waktu aku SMA dulu yang sekarang sudah banyak yang kerja dan mereka juga sekarang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Jadi kami ngumpul hanya waktu tertentu, kecuali kami berlima hampir setiap malam ketemu dan ngumpul bareng, ya dia adalah Aldy, Anto, Roy dan Anton.
Malam itu sudah menunjukkan pukul 22.00 kami masih saja minum dan memakai obat terlarang, karena kami anggap cara ini adalah cara yang tepat untuk mempererat pertemanan kami. Kami semua terlarut dalam rayuan dunia, masing-masing kami dengan caranya. Ada yang teler, ada yang muntah dan ada juga yang mabuk berat. Aku saat itu masih terkontrol, tapi mulutku masih saja mau minum hingga rasa mabuk beratpun kurasakan.
Malam itu aku tak pulang kerumah, karena aku mabuk berat. Begitu juga dengan Anto dia juga ikut mabuk berat bersama tiga temanku yang lain. Jam menunjukkan pukul 18.00 sore, pada saat itulah aku baru sadar dari mabuk semalaman. Kulihat disekelilingku, semua sudah pada sepi. Sampah kulit kacang dan botol-botol berserakan, begitu juga dengan obat dan jarum suntik, masih tergeletak diatas meja samping Aldy tidur.
“Astaga,” Kataku dalam hati sambil melihat jam ditangaku.
Aku lupa bahwa jam 15.00 sore tadi aku ada janji sama ibuku untuk menemankannya belanja kue untuk berbuka puasa. Ibu ku memang dari dari beberapa hari yang lalu ingin makan kue itu. Hanya saja aku bilang kalau aku tidak sempat menemankannya, dan aku janji pada hari ini aku akan menyempatkan diri untuk menemaninya, padahal ibuku dari hari ketiga puasa ia ingin sekali makan kue khas Melayu yang ada dijual daerah pasar tengah Singkawang. Entah apa yang membuat aku merasa bersalah saat itu, ingin ku pecahkan kepalaku Manahan emosiku.
“Anto, bangunlah antar aku pulang. Udah maghrib ni,” Kata ku membangunkan Anto sambil menggoyang badannya.
Namun, Anto tak juga terbangun dari mabuk nya, hingga aku harus pulang sendiri dengan jalan kaki. Ditengah perjalanan aku banyak bertemu dengan orang-orang yang mau pergi kemesjid, ada juga anak-anak yang sangat gembira berlari sambil bermain kembang api. Aku teringat dengan masa kecilku dulu, aku ingat waktu dulu aku selalu dimanjakan Ayahku,selalu dipenuhi apapun yang menjadi pintaku. Kakak-kakakku juga begitu, mereka selalu membantuku, mengajarkan aku sholat dan mengaji. Tapi kini, entah berapa kali ramadhan yang aku lupakan, aku tak pernah puasa, aku juga tak pernah ikut sholat tarawih. Aku setiap malamnya hanya senang-senang, dan menghabiskan uang beratus ribu hanya dengan sekejap, hanya untuk mabuk-mabukan.
Aku semakin terdesak, mataku tertuju pada satu orang lelaki tua yang menggunakan tongkat menuju masjid. Alangkah hina nya rasanya aku, aku selalu lupa dengan nikmat Tuhan, nikmat sehat yang kurasakan sekarang. Aku semakin memacu langkahku, ingin rasanya aku cepat sampai dirumahku.
Rasa capek. letih dan rasa mabuk masih kurasakan,tetapi aku terus berusaha untuk melawannya. Sesampai dirumah aku langsung mencari ibuku, ternyata ibuku juga tak ada, mungkin ibu sedang terawih fikirku dalam hati.
Aku bergegas menuju meja makan, aku melihat yang ada dimeja makan hanya ada segelas air putih dan juga ada satu buah pisang. Aku merasa iba sekali melihat hal itu, tak ku rasakan air mataku menetes sendiri melihat itu. Entah apa yang mengetuk hatiku.
“Ya Allah, Apa yang telah kuperbuat,” Bisikku dalam hati
Aku baru tau bahwa ibuku berbuka hanya dengan air putih dan pisang. Begitu teganya aku sebagai anak hingga lupa dengan ibuku. Aku memang benar rasa bersalah dan berdosa pada ibuku.
Tiba-tiba dari luar rumah ada yang mengucapkan salam.
“Assalamualaikum,” Kata seseorang dari luar
Aku langsung bergegas menuju kedepan pintu untuk membukakan pintu, ternyata ibu ku datang dari sholat. Aku langsung menangis melihat ibuku, tetesan air mataku tak dapat kutahan lagi. Aku menangis terisak didepan ibuku.
“Bu, aku minta maaf,” Kataku sambil menangis
Ibu hanya tersenyum mengangkat daguku sambil menatapi wajahku, sepertinya banyak yang ingin ia katakana kepadaku saat itu. Matanya yang menampakkan cahaya mulai berbinar-binar meneteskan air mata secara pelan-pelan. Tetes demi tetes air mata itu terkucur juga, air mata itu terus mengalir membasahi pelipis matanya dan air mata itu juga turun mengalir membasahi pipinya, suaranya bercampur dengan air matanya. Tangis nya baru pertama kali ini membasahi tanganku, aku memang tak pernah mendekap ibuku. Tangan ku dengan lembut mengusap dan menyapu air mata yang mengalir membasahi pipinya.
“Ibu, sudah maafin kamu No,” kata ibuku sambil menangis
“Ibu tak pernah menyimpan dendam sama kamu, ibu selau mendoakan kamu semoga kamu sadar akan tingkah lakumu. Ibu ikhlas setiap hari hanya sendiri, sedangkan kamu sibuk dan selalu berpesta dengan teman-temanmu. Dan ibu juga tau kamu sering mabuk dan memakai obat terlarang, namun ibu tak berani, ibu takut kamu marah. Ibu sayang sama kamu, Reno, “ Sambung Ibuku sambil menatap kewajahku.
“Bu, Maafkan Reno, ampuni Reno bu,” kataku sambil memeluk erat tubuh ibuku.
“Udah Reno, udah,” kata ibuku
Pelukan ku kepada ibuku semakin erat, tak ingin rasanya kulepaskan. Aku merasa baru kali ini aku meneteskan air mata menangisi kesalahanku pada ibuku. Air mata ini terus mengalir, sampai ibuku yang menghapus air mataku.
“Bu, ibu tadi buka puasa pakai apa,” akupun mencoba bertanya.
“Ibu buka puasa seperti biasa Reno, hanya ada air putih dan tadi ada dua buah pisang diberi tetangga, dan ibu sisakan satu untuk kamu, takut kamu datangnya lapar,” kata ibu
“Ya Allah, begitu mulianya hati ibu ku, dia selalu memkikirkan keadaanku, dia tau aku tak puasa, namun ia masih saja menyisakan  makanan untuk aku,” kataku dalam hati
Kutatapkan kembali mataku ke wajah ibuku, ibu yang penuh kasih dan sayang, penuh ketulusan, penuh dengan senyumnya yang indah. Walau aku juga tau ia sedang menyimpan begitu banyak kesedihan, ku perhatikan tatapan itu yang penuh arti. Ibu ku adalah orang yang paling setia dalam dunia ini,setia saat kapanpun masanya. Lalu kudekati ibuku dengan perlahan,kuambil tangannya lalu kucium.
Ibuku lalu memeluk tubuhku kedua kalinya dengan menangis terisak-isak, ibuku mendekapku erat sekali seakan-akan tubuhku begitu ringan untuknya. Akupun tak bisa berkata apa lagi,hanya lewat air mata kuungkapkan entah itu tangisku ataupun bahagiaku.
***
Pagi tu dunia terasa cerah dan sinar mentari pagi baru kurasakan hangatnya menyapa kulitku. Hari itu pertama kurasakan aku berpuasa setelah sekian lama aku tak pernah menjalankan kewajibanku. Hari-hariku yang kulalui terasa semakin membaik, kebiasaan burukku mulai kutinggalkan, aku juga tak pernah ngumpul sama teman-temanku lagi, biarlah mereka menganggapku apa aku tak mau peduli lagi. Hari demi hari kulalui dengan ibuku, aku tak pernah lagi membiarkan ibu sendiri, mulai dari sahur sampai berbuka aku selalu menemaninya, begitu juga dengan tarawih, aku selalu ikut dan pulang bersama ibuku. Aku merasakan dalam diriku merasa lebih tenang dan lebih tentram.
Malam itu malam lebaran, malam ini membuat ku beda sekali, lebaran yang lalu kulewati dengan pesta mabuk-mabukan. Namun, sekarang beda aku tak lagi seperti dulu, aku menjadi peneman ibuku yang setia. Aku membantu ibu menyiapkan kue untuk lebaran besok, aku juga pergi ke masjid untuk mengantar zakat.
Mendengar suara takbiran, air mataku menetes dengan sendirinya. Rasanya sangat berbeda sekali, suara takbir mengoyak hatiku yang lama beku, melembutkan hatiku yang dulu begitu keras, mengalirkan air mataku yang dulunya sangat keras untuk menyesali perbuatanku. Aku tak bisa menahan emosi tangis ku, warna-warni langit dihiasi lampu dengan indahnya. Kembang api dan suara takbir menambah indahnya suasana malam itu. Ingin rasanya malam ini mataku tak kupejamkan, aku ingin menikmati indahnya suasana lebaran dengan hati yang bersih. Jauh dari fikiran yang kotor dan perbuatan yang yang dilarang.
Matahari mulai menyinari ufuk timur, kubuka jendela rumah, suara takbir pun berkumandang dari segala penjuru. Banyak orang-orang mulai berjalan menuju masjid untuk melaksanakan sholat Id’. Ibu ku begitu juga, ia mengenakan baju warna putih ditambah mukena nya warnanya juga putih., ibu sangat senang, senyumnya pagi itu indah dan aku ingin selalu memandangi senyumanannya.
“Reno..ayo berangkat ke masjid,” Ajak ibuku kepadaku
Aku pun bergegas pergi. Sesampai dimesjid aku hanya terdiam mendengarkan khutbah. Terasa rindu dengan suasana ini, sejak aku dewasa aku baru ini menginjakkan kakiku untuk sholat Id, ayahku dulu merupakan seorang yang etrpandang didesaku. Aku ingat waktu aku kecil, ketika aku pergi sholat hari raya, ayahku selalu yang duduk didepan untuk berkhutbah, ia menjadi panutan orang-orang dikampung. Tiap hari pertama lebaran orang-orang bnayak berdatangan kerumahku, keluarga besarku juga selalu datang. Namun, ketika ku sudah dewasa, sanak keluarga jarang berkunjung, mungkin mereka berfikir tak ada lagi yang mau didatangi, hanya ibu sendiri sedangkan aku terlupa akan semua itu.
Semoga aku kan selalu menjadi anak yang berbakti pada ibuku….
Aku mencintaimu Ibu


" IBU " Tangis Duka Dalam Bahagia ( Ceritaku Diidul Fitri )



Hari itu adalah hari raya idul fitri, Hari yang sangat dinantikan oleh seluruh umat Muslim, Karena hari itu dijadikan sebagai hari kemenangan setelah menjalankan ibadah puasa selama sebulan lamanya. Hari itu juga adalah hari kebahagiaan bagi yang merayakannya, tawa dan senyum tersebar dimana-dimana karena begitu gembiranya menyambut hari yang penuh kemenangan itu. Dimana hari itu manusia kembali kepada kesucian. Begitu juga keluargaku kami semua merasa senang dengan kehadiran hari itu, Hari yang membuat keluarga kami kumpul. Kata maaf yang terucap terasa menyertai hari itu dan juga sangat meramaiikan suasana,yang muda meminta maaf kepada yang tuanbegitu juga sebaliknya, semua kebahagiaan terasa kami dapatkan semuanya. Aku yang merasakannya juga ikut bahagia sekali, duduk diantara keluarga yang sederhana namun dipenuhi canda dan tawa.

“ Bisikan Rindu, Dari Ibu “



Entah apa yang membuatku malam ini begitu rindu dengan keluargaku dikampung. Setelah lima belas tahun aku merantau meninggalkan rumah tiba-tiba baru saat ini aku merasakan ada desakan yang membuatku rindu dengan kampung halamanku. Memang kusadari setelah kepergianku melangkahkan kaki dari rumah, aku tak pernah memberi kabar keluargaku, terutama memberi kabar kepada kedua orang tuaku. Baru kusadari bahwa aku begitu tega dengan keluargaku disana, aku tahu mereka disana selalu merindukan kehadiranku, setiap saat selalu menantikan kabarku, biar tahu bagaimana keadaanku. Namun, aku disini tak pernah memikirkan apa yang mereka pikirkan, sungguh jahatnya aku sebagai anak harus melupakan orang tuaku.
Tangis yang keluar dimataku malam ini mungkin adalah sebuah penyesalan setelah pergi meninggalkan rumah selama lima belas tahun. Air mata yang menetes ini bukanlah air mata biasa yang kuteteskan saat aku menangis karena gajiku tak dibayar. Namun, air mataku kali ini adalah air mata penuh dosa, yang telah melupakan orang tuaku dikampung.
Malam ini mataku tak bisa tertidur, aku selalu teringat dengan kedua orang tuaku dirumah. Dalam hatiku yang terdalam terasa mendapat panggilan yang besar untuk kembali.
“Ya Tuhan ada apa gerangan semua ini, ada apa dengan keluargaku disana yang membuatku tiba-tiba rindu,” tanyaku dalam hati sambil tersandar duduk.
Jam ditanganku tepat menunjukkan pukul 00.00 aku pu keluar dari kamar melewati kamar-kamar rekan kerjaku, aku membawa semua barang-barangku dengan sebuah ransel. Pelan-pelan kulangkahkan kakiku agar tak terdengar oleh yang lain. Kutelusuri jalan kota dengan berjalan kaki, letih dan jauh tak pernah kuperdulikan. Aku malam itu ingin rasanya secepat-cepatnya pulang menuju kampung halamanku. Walaupun jauh kuberjalan menuju dermaga kapal, namun malam itu semuanya tak pernah kuhiraukan. Aku tak pernah peduli dengan pekerjaanku, padahal hari ini aku harus datang kebagian bendahara perusahaan untuk mengambil gajiku bulan ini. Semua itu tak membuat niatku surut untuk pulang, aku tahu setelah lima tahun aku jauh dari rumah baru kali ini aku mempunyai desakan yang begitu dahsyat.
Dermaga kapal pun dapat kutempuh setelah berjalan kaki selama tiga jam, penat dan letih membuatku tersandar dikursi tempat pengantrian pembelian tiket kapal.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan dua orang yang tak pernah kukenal sebelumnya, dua orang itu terus menarik tas kecil yang kugendong dipundakku.
“ Woi..ada apa ini main tarik-tarik,”kataku kaget.
Mereka berdua terus memaksa menarik tasku hingga tali yang menggantung dipundakku terputus. Aku tak bisa berbuat apa-apa, sementara teman yang satunya memegang erat tubuhku, hingga aku tak bisa bergerak. Salah satu temannya mengambil tas kecilku itu yang didalamnya berisi uang, dan kartu identitasku. Mereka berdua berlari selesai mendapatkan apa yang mereka inginkan, sementara aku hanya tegeletak ditanah.
Matahari pagi pun mulai muncul diufuk timur, aku tak tahu bagaimana untuk pulang sedangkan uang untuk ongkosku pulang raib diambil pencopet. Aku hanya terdiam sambil memperhatikan orang-orang yang mengantri tiket. Teriris pilu dihatiku, aku hanya menundukkan kepala sambil memegang ranselku.
 “Inikah cobaan yang kuhadapi untuk pulang kerumah, Ya Tuhan mengapa cobaan ini begitu berat kurasakan,” bisik hatiku yang terdalam.
Ku perhatikan kapal pun mulai berangkat dari dermaga, hati ku menangis pilu. Tak dapat kubendung air mataku yang menetes melihat kapal itu berangkat. Seharusnya aku ada dalam kapal itu, seharusnya aku cepat sampai dirumah. Kupejamkan mataku, lalu kutadahkan wajahku kelangit, kutatap matahari yang mulai bersinar dengan terik, kutarik nafasku dengan mendesah ku hembuskan pelan-pelan agar sedikit perasaanku bisa tenang. Aku tak mungkin harus kembali keperusahaan dimana aku berkerja, karena kepulanganku secara diam-diam ini pasti sudah diketahui oleh bos dan rekan kerjaku karena melihat isi kamarku yang kosong.
Hatiku terus menangis meratapi apa yang terjadi padaku, tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang oleh seorang lelaki tua yang umurnya kira-kira sama dengan Ayahku dirumah. Ia bertanya kepadaku mengapa aku menangis seperti itu, akupun cerita kepadanya dengan apa yang baru kualami. Dengan niatnya yang tulus akhirnya lelaki tua itu mau membantuku mencarikan aku pekerjaan sementara untukku bertahan hidup disitu. Akupun berjalan mengikuti langkah lelaki tua yang baru kukenal itu. Alhamdulillah, aku dipertemukan dengan anaknya yang mempunyai satu proyek kerja bangunan. Aku pun ikut kerja pada hari itu juga. Tanpa pernah berfikir lagi segala resikonya, tawaran anaknya pun langsung ku ia kan, karena aku memang butuh pekerjaan untuk mendapat uang agar aku bisa kembali kerumah.
***
Lima belas hari aku ikut berkerja membuat bangunan walet tak jauh dari dermaga, dengan gaji yang cukup untukku, hari itupun aku langsung memutuskan untuk pulang. Karena hatiku yang terdalam sangat merindukan kedua orang tuaku. Sebelum aku pulang aku tertunduk merendahkan diri dihadapan Tuhan, kujatuhkan badanku bersujud untuk mensyukuri hikmah yang telah ia curahkan untukku.
Pagi pun menjelang ditepi dermaga, aku bergegas menuju kapal setelah mendapatkan tiket masuk. Senyum terakhir terpancar dari lelaki tua yang telah menampungku lima belas hari didermaga itu. Akupun melambaikan tanganku kepada nya. Dengan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadanya, kemudian kapalpun mulai menjauh dari dermaga.
Aku duduk disudut kapal yang perlahan semakin jauh meninggalkan dermaga. Kutatapi potret ibu dan bapakku yang masih tersimpan didompetku. Terisis kembali hatiku, aku semakin tak sabar mau secepatnya datang kerumah bertemu mereka. Ingin rasanya kuungkapkan sejuta rindu yang kini ku bawa untuk mereka. Perjalanan pun semakin jauh, hingga yang dapat kupandang hanyalah lautan yang luas, hanya ada gelombang yang berlari berkejaran kemudian memecah terhempas didinding kapal.
Menjelang azan subuh, kapal yang membawaku sudah berlabuh didermaga kota kelahiranku. Raut mukaku pun bertambah jadi bahagia melihat lampu-lampu kota yang bersinar, yang ditemani sahutan kokok ayam yang bagiku ini baru kudengar lagi setelah lima tahun aku meninggalkan kota kelahiranku. Akupun bergegas keluar dari pintu depan kapal yang menumpangiku, segala penat yang kurasa, mabuk laut yang sempat kurasakan tak pernah kufikirkan karena besarnya desakan rindu yang membawaku untuk pulang kerumah.
Matahari mulai menyinsing dibelakangku, aku mencari ojek untuk menuju kerumahku. Perjalanan dari dermaga menuju rumahku pun dapat kutempuh, hingga tak beberapa lama aku sudah berada tepat dihalaman rumahku. Melihat halaman rumahku, melihat rumah yang jauh sudah berubah, yang dulunya masih tegap berdiri dengan kayu penyangga yang kuat, tapi kini mulai luntur dimakan waktu, warna dinding yang telah memudar, tiang-tiang rumah yang mulai dihinggapi binatang yang melapukkan. Lima belas tahun kutinggalkan kini sudah banyak perubahan, dulu aku melangkah pergi dari rumah masih berumur belasan tahun tapi kini aku pulang sudah hampir tiga puluhan. Sebelum aku melangkah masuk kedalam rumahku, aku teringat lima belas tahun yang lalu. Saat ayahku mengusirku pergi dari rumah, ibu hanya menangis ditepi pintu melihat kepergianku. Memang kesalahan itu ku kubuat sendiri. Aku terlalu egois pada diriku sendiri dengan lari dari kenyataan yang seharusnya kupertanggung jawabkan.
Pelan-pelan kulangkahkan kakiku masuk kedalam rumah, kuketuk pintu yang mulai berdebu dimakan waktu. Kuletakkan ransel pakaianku, kembali kuulangi mengetuk pintu agar aku segera dibukakan. Anak perempuan kira-kira berusia 14 tahun membukakan aku pintu rumah.
“Ada apa ya om” katanya sambil menatapku heran.
“Rumah ini ada orangnya kah,” jawabku sambil membalas tatapannya.
“Oya om, orang rumah ada kok, nenek lagi dikamar,” jawabnya sambil mempersilahkan aku masuk.
Aku merasa heran sekali dengan jawaban gadis kecil itu yang mengatakan dan menyebut ibuku adalah neneknya. Padahal aku tahu aku adalah anak satu-satunya dikeluargaku. Kalau anak sepupuku juga tidak mungkin mau tinggal dikampung seperti ini, bisikku dalam hati.
Aku terus mengikuti langkah gadis itu menuju kamar tempat ibuku. Kemudian gadis kecil itupun mempersilahkan aku masuk kekamar. Kulihat dari celah-celah kelampu putih yang terang tampak seorang perempuan terbujur di atas kasur, ya dialah ibuku. Aku langsung mendekap tubuhnya erat tanpa berkata terlebih dahulu. Aku tahu saat itu ibuku pasti heran dengan kedatanganku yang tiba-tiba memeluknya sambil menangis. Aku tak henti-hentinya menangis tersedu.
“Siapa kamu tiba-tiba menangis memelukku,” kata ibuku sambil tangannya menjauhkan tubuhku darinya.
“Aku Aldo bu, Aldo anak ibu yang lima belas tahun pergi meninggalkan Ibu,” jawabku terisak-isak.
“Aldo,”
Ibuku pun terus mendekapku erat, kutahu dia sangat merindukan kehadiranku. Setelah belasan tahun aku pergi baru sekarang bertemu kembali. Aku pun mencium keningnya, air mataku yang terus menetes membuat tangan ibuku bergerak untuk menghapus air mataku. Suasana dalam kamar saat itu memang mengharukan, ditambah tangisku yang kuat. Aku pu mencium kedua tangan ibuku dan meminta maaf atas apa yang telah kulakukan selama ini kepadanya.
Sementara gadis kecil yang duduk disebelah kiriku hanya menatap heran, sedikit air matanya juga ikut terjatuh menyaksikan keharuan tangisku dan tangis ibu yang menyatu. Dia hanya menatapiku dengan seribu tanda tanya, mungkin juga saat itu dia bertanya siapakah aku. Mungkin juga dalam fikirannya bertanya mengapa aku menangis seperti itu?
Ibupun duduk disamping kananku, lalu ibu memanggil gadis itu untuk duduk dekat disampingku.
“Suci, kesini dekat nenek,” kata ibuku sambil mengusap pelan tetesan air matanya.
“ Ia nek,”jawabnya polos.
Gadis itupun mendekatiku dan duduk berdampingan denganku.
“Suci, kamu tahu nak ini siapa,” tanya ibuku kepada gadis itu.
“Aku tidak tahu nek,”jawabnya singkat.
“Inilah bapakmu Suci,” kata ibuku sambil memegang pundakku.
Aku tersentak kaget, gadis kecil yang penuh dengan kepolosan itu ternyata adalah anakku. Anak yang kutinggalkan pergi lima belas tahun dari rumah, karena dengan alasan aku tak ingin menikahi ibunya. Hatiku yang terdalam menyimpan seribu sesal yang tak dapat kuungkapkan dengan apa-apa. Aku hanya bisa menatapi wajah polos gadis itu dengan seksama.
Akupun memeluk gadis itu sambil menangis, kuciumi rambutnya yang hitam dan lebat itu. Kubelai dengan segala curahan kasih sayang yang selama ini tak pernah kuberikan kepadanya.
“Suci, maafkan aku, maafkan aku untuk semua salah yang tak terhitung kepadamu,”kataku sambil menangis.
Gadis kecil itu hanya bisa menangis dipelukanku.
Ibu mengusap pundakku dari belakang, aku rindu sekali dengan usapan ibu kepadaku seperti itu. Terasa usapan ibu yang kali ini adalah usapan ibu yang dulu saat membangunkan aku diwaktu pagi dari tidur malam.
“Ayah kemana bu,” kataku sambil melepas pelukanku terhadap gadis itu.
Ibu hanya terdiam sejenak mendengar pertanyaanku seperti itu.
“Ayah kamu sudah meninggal saat kepergianmu menginjak delapan bulan,” kata ibuku sambil menangis kembali.
Aku kembali menjadi lemas, terasa berdosanya aku sampai ayahku meninggal aku tak berada disampingnya.
“Ya Tuhan ampunilah aku yang begitu banyak melakukan kesalahan ini, ampuni dosa kedua orang tuaku ya Tuhan,” doaku dalam hati.
Aku merengkuh Suci dan ibuku, mendekap mereka lewat kiri dan kananku. Kami bertiga menangis serempak, tak ada yang bisa tahu betapa keharuan hadir diantara itu. Tangisku yang haru akan rindu bercampur menjadi satu setelah tahu bahwa ayahku teah meninggal.
Aku bertanya kepada ibuku tentang Ibu Suci yang telah melahirkannya.
“Dina kemana bu, kok hanya suci disini,” tanyaku kepadaku ibu
“Ibu sudah tidak ada Pak, ia meninggal saat melahirkan Suci,”jawab Suci sambil menangis.
Hatiku semakin merasa terpukul, lima belas tahun berlalu pergi tanpa kabar. Bukan hanya dinding dan tiang rumah yang lapuk, melainkan anggota keluarga dan orang tersayang bagiku juga telah pergi untuk selamanya. Aku hanya bisa menyesali semua yang telah lalu tanpa harus bisa memutar waktu untuk kembali seperti dulu. Saat semuanya tertawa bersamaku, dan saat semua ada didekatku.
Aku begitu banyak dosa kepada ibu dan ayahku dengan meninggalkan mereka dari rumah. Aku terlalu mengikuti arah nafsuku. Aku juga berdosa kepada Dina yang hamil tak kunikahi hingga kini lahir anak dari hubungan kami dulu bernama Suci. Seandainya dulu aku mau menikah dengan Dina, mungkin aku takkan pergi meninggalkan rumah setahunpun. Aku juga akan hadir saat ayahku sakit sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya. Tapi itu hanya sebuah penyesalan, waktu takkan dapat lagi kuputar.
Tiba-tiba suci mendekatiku dan memberikan selembar kertas kepadaku. Lalu akupun membuka lipatan kertas itu dan tertulis dengan tulisan tangannya sendiri.
Andai dunia ini ada dalam pelukku.
Mungkin engkau tahu apa yang ku rasakan sekarang.
Segala kerinduan akan hadirmu disisiku.
Segala kehangatan yang kami dambakan dari hangatnya pelukanmu.
Dapat kau rasakan seperti apa yang aku rasakan.
Tapi dunia luas memisahkan kita, hingga hadirmu tak dapat kusentuh.
Hanya ada bayanganmu yang selalu terlintas dalam benakku.
Engkau anakku, selalu kurindukan untuk menemaniku masa tuaku.
Beribu jarak dan beribu waktu yang kau tempuh.
Beribu pulau dan beribu jembatan yang kau lalui.
Tidakkah membuat hatimu berpaut rindu untuk kembali.
Pulanglah Aldo.
Kembali dalam pelukanku.

Aku menangis membaca kata-kata ibuku yang ditulis Suci yang diberikannya kepadaku. Ternyata aku memang mendapat panggilan untuk kembali kerumah, hingga membuat ku terus bersikeras untuk pulang.

Kini aku akan hidup bersama ibu dan gadis kecil bernama Suci, aku berjanji tak akan meninggalkan mereka sampai akhir hayat yang harus memisahkan kami.

Selasa, 08 Desember 2015

Kekasihku

Kekasihku

Hadirmu bagaikan sinar matahari
Yang menyinari relung gelap sudut hidupku
Senyum mu bagaikan embun di pagi hari
Yang selalu menyejukkan kalaku memandangmu

Aku bukan lelaki yang turun dari surga
Yang selalu bisa menuruti semua pintamu
Tapi kau selalu mengerti akanku
Engkaulah bidadari surga sesungguhnya

Duhai kekasih ku, pegang selalu janjimu
Dekap erat tubuhku kala ku disampingmu
Jangan engkau jauh hidup mati bersama
Arungi dunia ini sampai nanti kita mati

Duhai kekasihku, tetaplah disampingku
Berjalan menyusuri hidup bersama berdua
Jangan engkau lelah tetaplah kau setia

Cinta kita kan abadi sampai nanti.

 
close