" Begajjik
Jagokmu" saat kau kedinginan. Kuberikan kau Sehelai "Gabbar" agar
kau sedikit mendapat kehangatan. Matamu kau "Kirap-kirapkan" dan
bibirmu kau "Muncongkan" tatkala kau minta sesuatu. Pertama aku "Bussong" pun mengerti. Bahasa isyaratmu membuatku bertanya apa maumu. "Gasa'ang" Kau meminta
"Belungkur" untukmu "Guring". Aku pun Menuruti apa mau mu. Kau pun mulai "Mengatupkan " matamu. Akuhanya "Menconomi" tatkala kau tidur. Suara "Sangngoranmu" mulai terdengar. Aku tak pernah merasa "Ibuh" sedikitpun
apalagi aku sampai "Kaleh" dari sampingmu. Kau mulai "Meransau", kau ngomong sendiri
masalah "Jarrokkan Jarring " yang kau "tapor". Semula aku anggap "ransauanmu itu
bullak". Tapi setelah kuperiksa "Arrak pinggan "
"tergogok" "Jarrokkan jarring" "Seredang tue". wawwaww "jikku "dalam hati. Ada "Tambol" rupanya, enak untuk di
"radak" saat hujan. Tapi aku tak kuat memakannya, aku takut
"rangngangnya" itu. Akupun hanya "menculiknya" sedikit. Kemudian aku pergi "memaggek" kamu yang
"terlempe" disana. Aku tak sengaja melihat kearah kakimu. Ada "amau" yang masih melekat di
"Tumbikmu". akupun mulai "bertetau" mencari air untuk
membasuknya. Kutemui "Sesuduk" air, lalu ku
"timbuska" kekakimu. Kau pun "meladde", aku terkejut dengan
muka "kassang kesupannan". Kukira engkau akan "mengerepekiku",
"gassa'nya" kau malah "ngiddum" sambil berkata. Tolong juga "bassokkan taek ayam berangnga'
dikaki siballahnye". aku pun "bercecak" menjauhimu...
"Kaddau"
Hati Ini Tatkala Kau Tak Disini. "Ndak Tantu Rudu" Fikiranku Terus
Bergejolak. Entah Apa Yang " Berselili" Di Otakku
Hingga Dalam Hatiku "Teserappik" Sejuta Kata Yang Tertuju Padamu. Aku Tak Tau Apa Yang Ku " Conomkan". "Melengo" Dalam Kesendirian. " Antu Nyaring" Pun Enggan Menyapaku. Hanya Ada Suara " Keriang dan Intamar"
Yang Bersenandung dalam malamku. Kemana perginya " Kiddumanku" Yang selalu bersinar terang. Kemana Tawaku yang "Ngakkal" setiap saat. Kini Semua Hilang "Rammok" Bagai ditelan
" Lentar Karring". Hatiku " Rattas" Karna sendiri. Jiwaku " Runnyok" Karna Gelisah. Dadaku sesak hinggaku "Loyo". Langkah kakikupun "Bagajjik" " Ngelotek " tak bisa berjalan. Nafasku "Terhingap-Hingap" mencari
sedikit ketenangan. Tuhan Tunjukkan jalan-Mu. Jangan ada lagi " Seleko" hidup ini Luruskan dan "Lanyumkan" jalanku. Buang semua fikiran jahat yang " Niamme'
" Otakku. "Tappaslah" hati ini yang selalu
berprasangka buruk. Jagakan semuanya.. Hingga berkekalan sampai "Ka'ang" Nun
Yo..
Tiba-tiba
Hp ku berdering, aku langsung bergegas menuju meja ruang tamu dimana aku
menyimpan Hp ku. Ku buka pesan yang baru saja masuk tersebut.
“No…
kamu lama banget ni, kami sudah ngumpul dan barang pesanan kita sudah nyampai,
malam ini kita pesta sampai pagi,” Pesan singkat dari temanku Aldy.
Aku
langsung berkemas, aku hari itu menggunakan kemeja hitam dan celana jeans tak
lupa juga jam tangan pemberian dari almarhum Ayahku dan jaket kulitku yang
selalu menempel setiap hari menjadi penghangat setiap malam saat aku bergadang
maupun lagi pesta bersama kawan-kawanku.
Tiba-tiba ibu
menghampiriku dan bertanya.
“Reno,
mau kemana kamu malam ini ? Tanya ibuku.
“Aku
mau ngumpul dengan teman-teman di Warkop Bu,” jawabku singkat sambil mengikat
tali sepatu.
“Reno..inikan
bulan puasa, kamu beberapa hari ini tak puasa, malam nya juga kamu tidak
terawih. Apa kamu lupa pesan Almarhum Ayahmu ?” Tanya Ibuku Sambil menoleh
kewajahku.
Aku hanya
terdiam sejenak, aku tak langsung menjawab kata-kata ibu itu.
“Bu,
Reno cuma mau ngumpul aja, Masalah puasa dan terawih itu bu, kan masih ada
esok. Bulan ramadhan ini masih panjang kok bu,” Jawabku kepada Ibuku.
Ibuku
hanya menggelengkan kepala melihat sikapku saat itu, tanpa aku menunggu lama
didepan pintu jemputanku pun datang. Dia Anto teman satu kompleks dengan
rumahku, rumahnya juga tidak jauh dari rumahku.
“Bu, aku
berangkat dulu,” kataku kepada ibu ku.
Kami
pun langsung bergegas menuju tempat tujuan. Dalam perjalanan aku tak pernah
berfikir rasa bersalah sedikitpun kepada ibuku. Aku pergi buru-buru tak mencium tangannya. Saat itu aku memang
lupa, tak seperti dulu lagi sebelum aku pergi aku selalu mencium tangannya dan
selalu mengucapkan salam.
Tempat
tujuan kami pun sampai, terlihat dari luar banyak motor yang sedang parkir.
Suara didalam pun terdengar begitu ramai, aku dan Anto langsung masuk menuju
ruangan tempat biasa kami berpesta.
“Hallo
bro, “ Sapa Aldy kepadaku
“Hallo
juga,” Kataku sambil bersalaman dengan gaya kami.
“Kemana
aja kalian, jam segini baru sampai,” Tanya Aldy kepadaku.
“Biasa
bro, jalan sini macet terus,” Jawabku singkat
Sementara
teman-teman yang lain lagi sibuk menyiapkan minuman. Memang malam itu malam
yang bagiku sangat indah dimana kami semua bisa kumpul. Mereka semua adalah
teman-temanku waktu aku SMA dulu yang sekarang sudah banyak yang kerja dan
mereka juga sekarang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Jadi kami ngumpul
hanya waktu tertentu, kecuali kami berlima hampir setiap malam ketemu dan ngumpul
bareng, ya dia adalah Aldy, Anto, Roy dan Anton.
Malam
itu sudah menunjukkan pukul 22.00 kami masih saja minum dan memakai obat
terlarang, karena kami anggap cara ini adalah cara yang tepat untuk mempererat
pertemanan kami. Kami semua terlarut dalam rayuan dunia, masing-masing kami
dengan caranya. Ada yang teler, ada yang muntah dan ada juga yang mabuk berat.
Aku saat itu masih terkontrol, tapi mulutku masih saja mau minum hingga rasa
mabuk beratpun kurasakan.
Malam
itu aku tak pulang kerumah, karena aku mabuk berat. Begitu juga dengan Anto dia
juga ikut mabuk berat bersama tiga temanku yang lain. Jam menunjukkan pukul 18.00
sore, pada saat itulah aku baru sadar dari mabuk semalaman. Kulihat
disekelilingku, semua sudah pada sepi. Sampah kulit kacang dan botol-botol
berserakan, begitu juga dengan obat dan jarum suntik, masih tergeletak diatas
meja samping Aldy tidur.
“Astaga,”
Kataku dalam hati sambil melihat jam ditangaku.
Aku
lupa bahwa jam 15.00 sore tadi aku ada janji sama ibuku untuk menemankannya
belanja kue untuk berbuka puasa. Ibu ku memang dari dari beberapa hari yang
lalu ingin makan kue itu. Hanya saja aku bilang kalau aku tidak sempat
menemankannya, dan aku janji pada hari ini aku akan menyempatkan diri untuk
menemaninya, padahal ibuku dari hari ketiga puasa ia ingin sekali makan kue
khas Melayu yang ada dijual daerah pasar tengah Singkawang. Entah apa yang
membuat aku merasa bersalah saat itu, ingin ku pecahkan kepalaku Manahan
emosiku.
“Anto,
bangunlah antar aku pulang. Udah maghrib ni,” Kata ku membangunkan Anto sambil
menggoyang badannya.
Namun,
Anto tak juga terbangun dari mabuk nya, hingga aku harus pulang sendiri dengan
jalan kaki. Ditengah perjalanan aku banyak bertemu dengan orang-orang yang mau
pergi kemesjid, ada juga anak-anak yang sangat gembira berlari sambil bermain
kembang api. Aku teringat dengan masa kecilku dulu, aku ingat waktu dulu aku
selalu dimanjakan Ayahku,selalu dipenuhi apapun yang menjadi pintaku.
Kakak-kakakku juga begitu, mereka selalu membantuku, mengajarkan aku sholat dan
mengaji. Tapi kini, entah berapa kali ramadhan yang aku lupakan, aku tak pernah
puasa, aku juga tak pernah ikut sholat tarawih. Aku setiap malamnya hanya
senang-senang, dan menghabiskan uang beratus ribu hanya dengan sekejap, hanya
untuk mabuk-mabukan.
Aku
semakin terdesak, mataku tertuju pada satu orang lelaki tua yang menggunakan
tongkat menuju masjid. Alangkah hina nya rasanya aku, aku selalu lupa dengan
nikmat Tuhan, nikmat sehat yang kurasakan sekarang. Aku semakin memacu
langkahku, ingin rasanya aku cepat sampai dirumahku.
Rasa
capek. letih dan rasa mabuk masih kurasakan,tetapi aku terus berusaha untuk
melawannya. Sesampai dirumah aku langsung mencari ibuku, ternyata ibuku juga
tak ada, mungkin ibu sedang terawih fikirku dalam hati.
Aku
bergegas menuju meja makan, aku melihat yang ada dimeja makan hanya ada segelas
air putih dan juga ada satu buah pisang. Aku merasa iba sekali melihat hal itu,
tak ku rasakan air mataku menetes sendiri melihat itu. Entah apa yang mengetuk
hatiku.
“Ya
Allah, Apa yang telah kuperbuat,” Bisikku dalam hati
Aku
baru tau bahwa ibuku berbuka hanya dengan air putih dan pisang. Begitu teganya
aku sebagai anak hingga lupa dengan ibuku. Aku memang benar rasa bersalah dan
berdosa pada ibuku.
Tiba-tiba
dari luar rumah ada yang mengucapkan salam.
“Assalamualaikum,”
Kata seseorang dari luar
Aku
langsung bergegas menuju kedepan pintu untuk membukakan pintu, ternyata ibu ku
datang dari sholat. Aku langsung menangis melihat ibuku, tetesan air mataku tak
dapat kutahan lagi. Aku menangis terisak didepan ibuku.
“Bu,
aku minta maaf,” Kataku sambil menangis
Ibu
hanya tersenyum mengangkat daguku sambil menatapi wajahku, sepertinya banyak
yang ingin ia katakana kepadaku saat itu. Matanya yang menampakkan cahaya mulai
berbinar-binar meneteskan air mata secara pelan-pelan. Tetes demi tetes air
mata itu terkucur juga, air mata itu terus mengalir membasahi pelipis matanya
dan air mata itu juga turun mengalir membasahi pipinya, suaranya bercampur
dengan air matanya. Tangis nya baru pertama kali ini membasahi tanganku, aku
memang tak pernah mendekap ibuku. Tangan ku dengan lembut mengusap dan menyapu
air mata yang mengalir membasahi pipinya.
“Ibu,
sudah maafin kamu No,” kata ibuku sambil menangis
“Ibu
tak pernah menyimpan dendam sama kamu, ibu selau mendoakan kamu semoga kamu
sadar akan tingkah lakumu. Ibu ikhlas setiap hari hanya sendiri, sedangkan kamu
sibuk dan selalu berpesta dengan teman-temanmu. Dan ibu juga tau kamu sering
mabuk dan memakai obat terlarang, namun ibu tak berani, ibu takut kamu marah.
Ibu sayang sama kamu, Reno, “ Sambung Ibuku sambil menatap kewajahku.
“Bu,
Maafkan Reno, ampuni Reno bu,” kataku sambil memeluk erat tubuh ibuku.
“Udah
Reno, udah,” kata ibuku
Pelukan
ku kepada ibuku semakin erat, tak ingin rasanya kulepaskan. Aku merasa baru
kali ini aku meneteskan air mata menangisi kesalahanku pada ibuku. Air mata ini
terus mengalir, sampai ibuku yang menghapus air mataku.
“Bu,
ibu tadi buka puasa pakai apa,” akupun mencoba bertanya.
“Ibu
buka puasa seperti biasa Reno, hanya ada air putih dan tadi ada dua buah pisang
diberi tetangga, dan ibu sisakan satu untuk kamu, takut kamu datangnya lapar,”
kata ibu
“Ya
Allah, begitu mulianya hati ibu ku, dia selalu memkikirkan keadaanku, dia tau
aku tak puasa, namun ia masih saja menyisakan
makanan untuk aku,” kataku dalam hati
Kutatapkankembali mataku ke wajah ibuku, ibu yang penuh kasih dan sayang,penuh ketulusan,penuh dengan senyumnya yang indah.
Walau aku juga tau ia sedang menyimpan begitu banyak kesedihan, ku perhatikan
tatapan itu yang penuh arti. Ibu ku adalah orang yang paling setia dalam dunia
ini,setia saat kapanpun masanya. Lalu kudekati ibuku dengan perlahan,kuambil
tangannya lalu kucium.
Ibuku lalu memeluk tubuhku kedua kalinya
dengan menangis terisak-isak,
ibuku mendekapku erat sekali seakan-akan tubuhku begitu ringan untuknya. Akupun
tak bisa berkata apa lagi,hanya lewat air mata kuungkapkan entah itu tangisku
ataupun bahagiaku.
***
Pagi tu dunia terasa cerah dan
sinar mentari pagi baru kurasakan hangatnya menyapa kulitku. Hari itu pertama
kurasakan aku berpuasa setelah sekian lama aku tak pernah menjalankan
kewajibanku. Hari-hariku yang kulalui terasa semakin membaik, kebiasaan burukku
mulai kutinggalkan, aku juga tak pernah ngumpul sama teman-temanku lagi,
biarlah mereka menganggapku apa aku tak mau peduli lagi. Hari demi hari kulalui
dengan ibuku, aku tak pernah lagi membiarkan ibu sendiri, mulai dari sahur
sampai berbuka aku selalu menemaninya, begitu juga dengan tarawih, aku selalu
ikut dan pulang bersama ibuku. Aku merasakan dalam diriku merasa lebih tenang
dan lebih tentram.
Malam itu malam lebaran, malam ini
membuat ku beda sekali, lebaran yang lalu kulewati dengan pesta mabuk-mabukan.
Namun, sekarang beda aku tak lagi seperti dulu, aku menjadi peneman ibuku yang
setia. Aku membantu ibu menyiapkan kue untuk lebaran besok, aku juga pergi ke
masjid untuk mengantar zakat.
Mendengar suara takbiran, air
mataku menetes dengan sendirinya. Rasanya sangat berbeda sekali, suara takbir
mengoyak hatiku yang lama beku, melembutkan hatiku yang dulu begitu keras,
mengalirkan air mataku yang dulunya sangat keras untuk menyesali perbuatanku.
Aku tak bisa menahan emosi tangis ku, warna-warni langit dihiasi lampu dengan
indahnya. Kembang api dan suara takbir menambah indahnya suasana malam itu.
Ingin rasanya malam ini mataku tak kupejamkan, aku ingin menikmati indahnya
suasana lebaran dengan hati yang bersih. Jauh dari fikiran yang kotor dan perbuatan
yang yang dilarang.
Matahari mulai menyinari ufuk
timur, kubuka jendela rumah, suara takbir pun berkumandang dari segala penjuru.
Banyak orang-orang mulai berjalan menuju masjid untuk melaksanakan sholat Id’.
Ibu ku begitu juga, ia mengenakan baju warna putih ditambah mukena nya warnanya
juga putih., ibu sangat senang, senyumnya pagi itu indah dan aku ingin selalu
memandangi senyumanannya.
“Reno..ayo berangkat ke masjid,”
Ajak ibuku kepadaku
Aku pun bergegas pergi. Sesampai
dimesjid aku hanya terdiam mendengarkan khutbah. Terasa rindu dengan suasana
ini, sejak aku dewasa aku baru ini menginjakkan kakiku untuk sholat Id, ayahku
dulu merupakan seorang yang etrpandang didesaku. Aku ingat waktu aku kecil,
ketika aku pergi sholat hari raya, ayahku selalu yang duduk didepan untuk
berkhutbah, ia menjadi panutan orang-orang dikampung. Tiap hari pertama lebaran
orang-orang bnayak berdatangan kerumahku, keluarga besarku juga selalu datang.
Namun, ketika ku sudah dewasa, sanak keluarga jarang berkunjung, mungkin mereka
berfikir tak ada lagi yang mau didatangi, hanya ibu sendiri sedangkan aku
terlupa akan semua itu.
Semoga aku kan selalu menjadi anak
yang berbakti pada ibuku….
Hari itu adalah hari raya idul fitri, Hari yang
sangat dinantikan oleh seluruh
umat Muslim, Karena hari itu dijadikan sebagai hari
kemenangan setelah menjalankan ibadah puasa selama sebulan
lamanya. Hari itu juga
adalah hari kebahagiaan bagi yang merayakannya, tawa dan
senyum tersebar dimana-dimana karena begitu gembiranya menyambut hari yang penuh kemenangan
itu. Dimana hari itu manusia kembali kepada kesucian. Begitu juga keluargaku
kami semua merasa senang dengan kehadiran hari itu, Hari yang
membuat keluarga kami kumpul. Kata maaf yang
terucap terasa menyertai hari itu dan juga sangat meramaiikan suasana,yang
muda meminta maaf kepada yang tuanbegitu juga sebaliknya, semua kebahagiaan terasa kami dapatkan semuanya. Aku yang merasakannya
juga ikut bahagia sekali, duduk diantara keluarga yang sederhana namun dipenuhi
canda dan tawa.
Entah apa yang membuatku malam ini begitu rindu dengan keluargaku
dikampung. Setelah lima belas tahun aku merantau meninggalkan rumah tiba-tiba
baru saat ini aku merasakan ada desakan yang membuatku rindu dengan kampung halamanku.
Memang kusadari setelah kepergianku melangkahkan kaki dari rumah, aku tak
pernah memberi kabar keluargaku, terutama memberi kabar kepada kedua orang
tuaku. Baru kusadari bahwa aku begitu tega dengan keluargaku disana, aku tahu
mereka disana selalu merindukan kehadiranku, setiap saat selalu menantikan
kabarku, biar tahu bagaimana keadaanku. Namun, aku disini tak pernah memikirkan
apa yang mereka pikirkan, sungguh jahatnya aku sebagai anak harus melupakan
orang tuaku.
Tangis yang keluar dimataku malam ini mungkin adalah sebuah
penyesalan setelah pergi meninggalkan rumah selama lima belas tahun. Air mata
yang menetes ini bukanlah air mata biasa yang kuteteskan saat aku menangis
karena gajiku tak dibayar. Namun, air mataku kali ini adalah air mata penuh
dosa, yang telah melupakan orang tuaku dikampung.
Malam ini mataku tak bisa tertidur, aku selalu teringat dengan
kedua orang tuaku dirumah. Dalam hatiku yang terdalam terasa mendapat panggilan
yang besar untuk kembali.
“Ya Tuhan ada apa gerangan semua ini, ada apa dengan keluargaku
disana yang membuatku tiba-tiba rindu,” tanyaku dalam hati sambil tersandar
duduk.
Jam ditanganku tepat menunjukkan pukul 00.00 aku pu keluar dari
kamar melewati kamar-kamar rekan kerjaku, aku membawa semua barang-barangku dengan
sebuah ransel. Pelan-pelan kulangkahkan kakiku agar tak terdengar oleh yang
lain. Kutelusuri jalan kota dengan berjalan kaki, letih dan jauh tak pernah
kuperdulikan. Aku malam itu ingin rasanya secepat-cepatnya pulang menuju
kampung halamanku. Walaupun jauh kuberjalan menuju dermaga kapal, namun malam
itu semuanya tak pernah kuhiraukan. Aku tak pernah peduli dengan pekerjaanku,
padahal hari ini aku harus datang kebagian bendahara perusahaan untuk mengambil
gajiku bulan ini. Semua itu tak membuat niatku surut untuk pulang, aku tahu
setelah lima tahun aku jauh dari rumah baru kali ini aku mempunyai desakan yang
begitu dahsyat.
Dermaga kapal pun dapat kutempuh setelah berjalan kaki selama tiga
jam, penat dan letih membuatku tersandar dikursi tempat pengantrian pembelian
tiket kapal.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan dua orang yang tak
pernah kukenal sebelumnya, dua orang itu terus menarik tas kecil yang kugendong
dipundakku.
“ Woi..ada apa ini main tarik-tarik,”kataku kaget.
Mereka berdua terus memaksa menarik tasku hingga tali yang
menggantung dipundakku terputus. Aku tak bisa berbuat apa-apa, sementara teman
yang satunya memegang erat tubuhku, hingga aku tak bisa bergerak. Salah satu
temannya mengambil tas kecilku itu yang didalamnya berisi uang, dan kartu
identitasku. Mereka berdua berlari selesai mendapatkan apa yang mereka
inginkan, sementara aku hanya tegeletak ditanah.
Matahari pagi pun mulai muncul diufuk timur, aku tak tahu
bagaimana untuk pulang sedangkan uang untuk ongkosku pulang raib diambil
pencopet. Aku hanya terdiam sambil memperhatikan orang-orang yang mengantri
tiket. Teriris pilu dihatiku, aku hanya menundukkan kepala sambil memegang
ranselku.
“Inikah cobaan yang
kuhadapi untuk pulang kerumah, Ya Tuhan mengapa cobaan ini begitu berat
kurasakan,” bisik hatiku yang terdalam.
Ku perhatikan kapal pun mulai berangkat dari dermaga, hati ku
menangis pilu. Tak dapat kubendung air mataku yang menetes melihat kapal itu
berangkat. Seharusnya aku ada dalam kapal itu, seharusnya aku cepat sampai
dirumah. Kupejamkan mataku, lalu kutadahkan wajahku kelangit, kutatap matahari
yang mulai bersinar dengan terik, kutarik nafasku dengan mendesah ku hembuskan
pelan-pelan agar sedikit perasaanku bisa tenang. Aku tak mungkin harus kembali
keperusahaan dimana aku berkerja, karena kepulanganku secara diam-diam ini
pasti sudah diketahui oleh bos dan rekan kerjaku karena melihat isi kamarku
yang kosong.
Hatiku terus menangis meratapi apa yang terjadi padaku, tiba-tiba
pundakku ditepuk dari belakang oleh seorang lelaki tua yang umurnya kira-kira
sama dengan Ayahku dirumah. Ia bertanya kepadaku mengapa aku menangis seperti
itu, akupun cerita kepadanya dengan apa yang baru kualami. Dengan niatnya yang
tulus akhirnya lelaki tua itu mau membantuku mencarikan aku pekerjaan sementara
untukku bertahan hidup disitu. Akupun berjalan mengikuti langkah lelaki tua
yang baru kukenal itu. Alhamdulillah, aku dipertemukan dengan anaknya yang
mempunyai satu proyek kerja bangunan. Aku pun ikut kerja pada hari itu juga.
Tanpa pernah berfikir lagi segala resikonya, tawaran anaknya pun langsung ku ia
kan, karena aku memang butuh pekerjaan untuk mendapat uang agar aku bisa
kembali kerumah.
***
Lima belas hari aku ikut berkerja membuat bangunan walet tak jauh
dari dermaga, dengan gaji yang cukup untukku, hari itupun aku langsung
memutuskan untuk pulang. Karena hatiku yang terdalam sangat merindukan kedua
orang tuaku. Sebelum aku pulang aku tertunduk merendahkan diri dihadapan Tuhan,
kujatuhkan badanku bersujud untuk mensyukuri hikmah yang telah ia curahkan
untukku.
Pagi pun menjelang ditepi dermaga, aku bergegas menuju kapal
setelah mendapatkan tiket masuk. Senyum terakhir terpancar dari lelaki tua yang
telah menampungku lima belas hari didermaga itu. Akupun melambaikan tanganku
kepada nya. Dengan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadanya, kemudian
kapalpun mulai menjauh dari dermaga.
Aku duduk disudut kapal yang perlahan semakin jauh meninggalkan
dermaga. Kutatapi potret ibu dan bapakku yang masih tersimpan didompetku.
Terisis kembali hatiku, aku semakin tak sabar mau secepatnya datang kerumah
bertemu mereka. Ingin rasanya kuungkapkan sejuta rindu yang kini ku bawa untuk
mereka. Perjalanan pun semakin jauh, hingga yang dapat kupandang hanyalah
lautan yang luas, hanya ada gelombang yang berlari berkejaran kemudian memecah
terhempas didinding kapal.
Menjelang azan subuh, kapal yang membawaku sudah berlabuh
didermaga kota kelahiranku. Raut mukaku pun bertambah jadi bahagia melihat
lampu-lampu kota yang bersinar, yang ditemani sahutan kokok ayam yang bagiku
ini baru kudengar lagi setelah lima tahun aku meninggalkan kota kelahiranku.
Akupun bergegas keluar dari pintu depan kapal yang menumpangiku, segala penat
yang kurasa, mabuk laut yang sempat kurasakan tak pernah kufikirkan karena
besarnya desakan rindu yang membawaku untuk pulang kerumah.
Matahari mulai menyinsing dibelakangku, aku mencari ojek untuk
menuju kerumahku. Perjalanan dari dermaga menuju rumahku pun dapat kutempuh,
hingga tak beberapa lama aku sudah berada tepat dihalaman rumahku. Melihat
halaman rumahku, melihat rumah yang jauh sudah berubah, yang dulunya masih
tegap berdiri dengan kayu penyangga yang kuat, tapi kini mulai luntur dimakan
waktu, warna dinding yang telah memudar, tiang-tiang rumah yang mulai
dihinggapi binatang yang melapukkan. Lima belas tahun kutinggalkan kini sudah
banyak perubahan, dulu aku melangkah pergi dari rumah masih berumur belasan
tahun tapi kini aku pulang sudah hampir tiga puluhan. Sebelum aku melangkah
masuk kedalam rumahku, aku teringat lima belas tahun yang lalu. Saat ayahku
mengusirku pergi dari rumah, ibu hanya menangis ditepi pintu melihat
kepergianku. Memang kesalahan itu ku kubuat sendiri. Aku terlalu egois pada
diriku sendiri dengan lari dari kenyataan yang seharusnya kupertanggung
jawabkan.
Pelan-pelan kulangkahkan kakiku masuk kedalam rumah, kuketuk pintu
yang mulai berdebu dimakan waktu. Kuletakkan ransel pakaianku, kembali kuulangi
mengetuk pintu agar aku segera dibukakan. Anak perempuan kira-kira berusia 14
tahun membukakan aku pintu rumah.
“Ada apa ya om” katanya sambil menatapku heran.
“Rumah ini ada orangnya kah,” jawabku sambil membalas tatapannya.
“Oya om, orang rumah ada kok, nenek lagi dikamar,” jawabnya sambil
mempersilahkan aku masuk.
Aku merasa heran sekali dengan jawaban gadis kecil itu yang
mengatakan dan menyebut ibuku adalah neneknya. Padahal aku tahu aku adalah anak
satu-satunya dikeluargaku. Kalau anak sepupuku juga tidak mungkin mau tinggal
dikampung seperti ini, bisikku dalam hati.
Aku terus mengikuti langkah gadis itu menuju kamar tempat ibuku.
Kemudian gadis kecil itupun mempersilahkan aku masuk kekamar. Kulihat dari
celah-celah kelampu putih yang terang tampak seorang perempuan terbujur di atas
kasur, ya dialah ibuku. Aku langsung mendekap tubuhnya erat tanpa berkata
terlebih dahulu. Aku tahu saat itu ibuku pasti heran dengan kedatanganku yang
tiba-tiba memeluknya sambil menangis. Aku tak henti-hentinya menangis tersedu.
“Siapa kamu tiba-tiba menangis memelukku,” kata ibuku sambil
tangannya menjauhkan tubuhku darinya.
“Aku Aldo bu, Aldo anak ibu yang lima belas tahun pergi
meninggalkan Ibu,” jawabku terisak-isak.
“Aldo,”
Ibuku pun terus mendekapku erat, kutahu dia sangat merindukan
kehadiranku. Setelah belasan tahun aku pergi baru sekarang bertemu kembali. Aku
pun mencium keningnya, air mataku yang terus menetes membuat tangan ibuku
bergerak untuk menghapus air mataku. Suasana dalam kamar saat itu memang
mengharukan, ditambah tangisku yang kuat. Aku pu mencium kedua tangan ibuku dan
meminta maaf atas apa yang telah kulakukan selama ini kepadanya.
Sementara gadis kecil yang duduk disebelah kiriku hanya menatap
heran, sedikit air matanya juga ikut terjatuh menyaksikan keharuan tangisku dan
tangis ibu yang menyatu. Dia hanya menatapiku dengan seribu tanda tanya,
mungkin juga saat itu dia bertanya siapakah aku. Mungkin juga dalam fikirannya
bertanya mengapa aku menangis seperti itu?
Ibupun duduk disamping kananku, lalu ibu memanggil gadis itu untuk
duduk dekat disampingku.
“Suci, kesini dekat nenek,” kata ibuku sambil mengusap pelan
tetesan air matanya.
“ Ia nek,”jawabnya polos.
Gadis itupun mendekatiku dan duduk berdampingan denganku.
“Suci, kamu tahu nak ini siapa,” tanya ibuku kepada gadis itu.
“Aku tidak tahu nek,”jawabnya singkat.
“Inilah bapakmu Suci,” kata ibuku sambil memegang pundakku.
Aku tersentak kaget, gadis kecil yang penuh dengan kepolosan itu
ternyata adalah anakku. Anak yang kutinggalkan pergi lima belas tahun dari
rumah, karena dengan alasan aku tak ingin menikahi ibunya. Hatiku yang terdalam
menyimpan seribu sesal yang tak dapat kuungkapkan dengan apa-apa. Aku hanya
bisa menatapi wajah polos gadis itu dengan seksama.
Akupun memeluk gadis itu sambil menangis, kuciumi rambutnya yang
hitam dan lebat itu. Kubelai dengan segala curahan kasih sayang yang selama ini
tak pernah kuberikan kepadanya.
“Suci, maafkan aku, maafkan aku untuk semua salah yang tak
terhitung kepadamu,”kataku sambil menangis.
Gadis kecil itu hanya bisa menangis dipelukanku.
Ibu mengusap pundakku dari belakang, aku rindu sekali dengan
usapan ibu kepadaku seperti itu. Terasa usapan ibu yang kali ini adalah usapan
ibu yang dulu saat membangunkan aku diwaktu pagi dari tidur malam.
“Ayah kemana bu,” kataku sambil melepas pelukanku terhadap gadis
itu.
Ibu hanya terdiam sejenak mendengar pertanyaanku seperti itu.
“Ayah kamu sudah meninggal saat kepergianmu menginjak delapan
bulan,” kata ibuku sambil menangis kembali.
Aku kembali menjadi lemas, terasa berdosanya aku sampai ayahku
meninggal aku tak berada disampingnya.
“Ya Tuhan ampunilah aku yang begitu banyak melakukan kesalahan
ini, ampuni dosa kedua orang tuaku ya Tuhan,” doaku dalam hati.
Aku merengkuh Suci dan ibuku, mendekap mereka lewat kiri dan
kananku. Kami bertiga menangis serempak, tak ada yang bisa tahu betapa keharuan
hadir diantara itu. Tangisku yang haru akan rindu bercampur menjadi satu setelah
tahu bahwa ayahku teah meninggal.
Aku bertanya kepada ibuku tentang Ibu Suci yang telah
melahirkannya.
“Dina kemana bu, kok hanya suci disini,” tanyaku kepadaku ibu
“Ibu sudah tidak ada Pak, ia meninggal saat melahirkan Suci,”jawab
Suci sambil menangis.
Hatiku semakin merasa terpukul, lima belas tahun berlalu pergi
tanpa kabar. Bukan hanya dinding dan tiang rumah yang lapuk, melainkan anggota
keluarga dan orang tersayang bagiku juga telah pergi untuk selamanya. Aku hanya
bisa menyesali semua yang telah lalu tanpa harus bisa memutar waktu untuk
kembali seperti dulu. Saat semuanya tertawa bersamaku, dan saat semua ada
didekatku.
Aku begitu banyak dosa kepada ibu dan ayahku dengan meninggalkan
mereka dari rumah. Aku terlalu mengikuti arah nafsuku. Aku juga berdosa kepada
Dina yang hamil tak kunikahi hingga kini lahir anak dari hubungan kami dulu
bernama Suci. Seandainya dulu aku mau menikah dengan Dina, mungkin aku takkan
pergi meninggalkan rumah setahunpun. Aku juga akan hadir saat ayahku sakit
sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya. Tapi itu hanya sebuah penyesalan,
waktu takkan dapat lagi kuputar.
Tiba-tiba suci mendekatiku dan memberikan selembar kertas
kepadaku. Lalu akupun membuka lipatan kertas itu dan tertulis dengan tulisan
tangannya sendiri.
Andai dunia ini ada
dalam pelukku.
Mungkin engkau tahu
apa yang ku rasakan sekarang.
Segala kerinduan akan
hadirmu disisiku.
Segala kehangatan
yang kami dambakan dari hangatnya pelukanmu.
Dapat kau rasakan
seperti apa yang aku rasakan.
Tapi dunia luas memisahkan
kita, hingga hadirmu tak dapat kusentuh.
Hanya ada bayanganmu
yang selalu terlintas dalam benakku.
Engkau anakku, selalu
kurindukan untuk menemaniku masa tuaku.
Beribu jarak dan
beribu waktu yang kau tempuh.
Beribu pulau dan
beribu jembatan yang kau lalui.
Tidakkah membuat
hatimu berpaut rindu untuk kembali.
Pulanglah Aldo.
Kembali dalam
pelukanku.
Aku menangis membaca kata-kata ibuku yang ditulis Suci yang
diberikannya kepadaku. Ternyata aku memang mendapat panggilan untuk kembali
kerumah, hingga membuat ku terus bersikeras untuk pulang.
Kini aku akan hidup bersama ibu dan gadis kecil bernama Suci, aku
berjanji tak akan meninggalkan mereka sampai akhir hayat yang harus memisahkan
kami.