Handhira Production

Halaman


">Iklan Melayang

">

Selamat Datang Di Blog Bahase Sambas

Silekan Bace Postingan Menarik Nang Ade Disito'.

Handhira Production

Subscribe My Channel.

Handhira Production

Silahkan Subscribe.

handhira Production

Selamat Membaca.

Ada beberapa Jasa JUga Disediakan

Silahkan Kontak Nomor yang Tertera.

Rabu, 14 Mei 2014

Bapakku Seorang Penjahat "

         


     Aku memang nakal dimata teman-temanku. Selalu saja ada hal yang kubuat untuk membuat temanku merasa malu. Mulai dari mengolok sampai harus mempermalukan temanku dengan mengikat tali dipinggangnya hingga membuat ia terjatuh. Dikelas begitu juga aku sering sekali menjahili teman-temanku, hingga membuat aku dijauhi mereka. Guru-guru disekolahku banyak yang tak menyukai tingkahku, hingga tiap pembagian raport aku selalu mendapat nilai yang rendah. Tapi bagi ku itu tak masalah, aku selalu percaya diri dengan apa yang kupunya. Dengan segala caraku akhirnya aku bisa naik kelas walaupun bukan dengan cara yang dibenarkan. Aku naik kekelas dua SMA harus mengeluarkan uang untuk menyogok wali kelasku agar aku bisa naik kelas dan aku minta naik dikelas dua Ipa, karena kata kakak kelasku anak Ipa itu tergolong anak-anak yang pintar. Mendengar pernyataan itulah aku mau naik dikelas Ipa, walau sebenarnya tak sesuai dengan kekampuanku. Di sekolah aku hanya berteman dengan dua orang saja, karena menurutku kami bertiga itu sama, sama jahilnya dan juga sama kayanya. Dengan geng yang kami beri nama “ Simple “ menjadikan kami dikenal oleh seluruh siswa disekolahku. Dikenal bukan karena prestasi kami, melainkan dikenal karena kenakalan kami. Sering dihukum, dijemur, bahkan sering juga kami diskor. Dasar anak bandel, semua yang kami terima tak pernah membuat kami jera, apalagi membuat kami sampai sadar. Sungguh luar biasa perilaku kami disekolah. Aku dibesarkan dari keluarga yang mempunyai jabatan, ibuku seorang Jaksa dan bapakku adalah pemilik tambang Emas yang tambang emasnya hampir ada diseluruh pelosok Kalimantan. Dengan dibesarkan melalui segala kemewahan membuatku menjadi manja sekali. Aku anak tertua dari tiga saudara, dan aku juga satu-satunya anak perempuan dikeluarga kami. Ibuku sibuk dengan pekerjaannya, pergi pagi dan pulang malam. Begitu juga dengan ayahku, dia juga sibuk dengan tambangnya, biasanya dia pulang dua hari sekali hingga aku jarang bertemu dengannya. Segala fasilitas diberikan orang tuaku kepadaku, mulai dari mobil, handphone mahal, laptop dan pakaianku juga selalu pesan dari luar negeri. Dengan segala kemewahan itulah membuat aku tak pernah memandang teman-teman yang lain itu mulia, selalu saja aku mentertawakan, selalu mencari kelemahan mereka dan selalu menghina mereka. Tapi suatu hari aku sangat sedih sekali, aku mengurung diri dikamar seorang diri. Karena tadi pagi pukul 07.00 sewaktu aku mau berangkat kesekolah aku bertemu seorang bapak supermaket yang umurnya kira-kira 50-han banyak bercerita kepadaku, kebetulan pagi itu sebelum berangkat kesekolah aku membeli snack. Ceritanya memang tak enak sekali kudengar, karena ini menyangkut masalah hidupku, masalah usul asalku. Aku terus bertanya-tanya sendiri dalam hatiku tentang pernyataan bapak itu tadi. Tak habis fikirku menanyakan hal itu. Aku makan pun merasa tak selera, aku hanya diam sendiri, hari itu juga aku tak pergi kesekolah. Aku yang selalu tertawa bahagia bersama dua orang temanku disekolah, tapi kini aku harus meneteskan air mata yang bagiku ini pertama kali aku menangis. Aku teringat dengan kata-kata bapak yang kutemui disupermaket itu, yang mengatakan bahwa aku bukan anak kandung dari ibuku. Hatiku terus bertanya-tanya tentang itu, siapa sesungguhnya orang tuaku. Apakah bapak yang kutemui disupermaket itu hanya membohongiku, atau barang kali bapak itu hanya bergurau kepadaku. Segala bentuk jawaban mulai berdatangan dikepalaku. Semua nya menjawab bahwa aku benar-benar anak ibu yang selama ini membesarkan ku. *** Suasana dirumah sedikit ramai, karena malam itu bapakku datang dari tempat kerjanya, setelah dua hari dua malam pergi meninggalkan rumah. “Ranti.. keluar sini bentar,” panggil bapakku dari luar “Iya pak, sebentar Ranti lagi berkemas,” jawabku dari kamar “Buruan ya,” kata bapakku kembali. “Ya Pak,” kataku sambil bercermin dikamar,karena mataku masih kelihatan merah habis nangis. Aku melangkah kan kaki keluar dari kamar, detik jam diruang tamu terus bergulir. Warna-warni lampu yang menghiasi sudut ruang tamu terasa berlawanan dengan apa yang kurasakan saat itu. Suara TV yang ada dihadapanku tak menyurutkan semua perasaanku menjadi bahagia. Aku menempatkan posisi dudukku jauh dari bapakku, tapi bapakku memanggilku dan menyuruhku duduk dekat disampingnya. “Ran,,kamu tahu ini apa,” tanya bapakku sambil menunjukkan satu kotak kecil. “Ranti tidak tahu itu apa, memangnya itu apaan sih Pa,” tanyaku ingin tahu. “Ini adalah hadiah untukmu Ranti, kan dulu kamu juga yang minta,” jawab bapakku sambil memberikan kotak kecil itu kepadaku. Aku pun membuka pelan-pelan kotak kecil yang dibungkus dengan kertas kado itu. Rasa penasaran semakin memuncak dibenakku. Setelah bungkus kado itu terlepas habis, kelihatan jelas olehku ternyata hadiah yang diberikan oleh bapakkua adalah sebuah kunci mobil. Memang dulu aku pernah minta ganti mobilku dengan yang baru, karena aku merasa disaingi oleh dua orang temanku. Bapakku memang selalu menuruti apapun permintaanku, hanya saja aku yang salah balas terhadapnya, segala kemewahan yang diberikannya kepadaku malah ku balas dengan nilai sekolah yang rendah, dan aku juga selalu mendapat hukuman disekolah karena tingkahku. Aku hanya mampu tersenyum melihat apa yang ada ditanganku sekarang. sedangkan ibuku dari kejauhan juga ikut tersenyum melihatku. Bapakku pun mendekatiku, dan selalu berpesan denganku dengan dibelikannya aku mobil baru ini agar aku selalu belajar lebih giat, kalau nilaiku bagus ujian akhir nanti aku akan dikuliahkan oleh bapakku ke Australia. Aku hanya mengiakan tanda setuju. Masalah yang kuhadapi saat ini belum bisa kuceritakan kepada ibu dan bapakku, karena aku takut mereka memarahiku. Aku bergegas menuju kamar dengan alasan aku banyak tugas dari sekolah. Dikamar aku hany merenung kembali, sambil menatap keluar dari jendela kamarku, tiba-tiba ibu menyentuh pundakku dengan pelan. “Ibu.. ,”sapaku sedikit kaget “Kamu kenapa Ranti, sepertinya kamu sedang ada masalah. Tak biasanya ibu lihat kamu seperti ini,”kata ibuku sambil mengelus pundakku. “Tak ada kok bu, Ranti baik-baik saja,” jelasku pada ibuku, walau aku tahu aku berbohong pada ibuku. “Ranti,kamu tidak suka ya dengan hadiah yang diberikan bapakmu tadi,” tanya ibuku sambil duduk diatas kasur tempat tidurku. “Tidak bu, Ranti senang sekali, apalagi hadiah yang diberikan bapak ini sudah lama Ranti mimpikan,” jawabku mengalas-ngalaskan. “Ya udah dech Ran,
kamu belajar sana katanya tadi mau belajar,” kata ibuku sambil beranjak dari kasur tempat tidurku. “Ya bu,” jawabku Ibupun melangkah kan kakinya keluar kamarku, aku hanya memperhatikan langkah ibu yang pelan-pelan menjauh dariku. Aku kembali memandang lepas kearah luar jendela kamarku, selalu kutanyakan tentang siapa aku sesungguhnya. Aku memang tak habis fikir dibuatnya, air mataku menetes dengan sendirinya tanpa harus kupaksakan menangis. Ku ambil pena dan selembar kertas putih lalu kutulis. “Seperti apa yang kurasa sekarang mungkin tak dapat untuk ku gambarkan dengan perasaan apapun, hanya ada air mata yang menjadi jawaban apa yang terjadi di atas kisahku ini. Segala kekuatan yang kutanamkan dalam diriku seakan tak mampu membendung air mataku yang terus memaksa ingin keluar dari pelipis mataku. Aku tak sekuat waktu tadi sebelum perasaan ku remuk dan hancur seperti ini. Langkah kakiku hanya mampu menyusuri puing-puing akan kehancuran seluruh perasaanku, bagaikan tersapu ombak yang memecah berderai, seperti guncangan angin yang tiba-tiba harus melayangkanku ke arus yang pahit. Aku tak bisa bernafas dengan perasaan lega, seakan seluruh nafasku masih dihuni oleh dahaga duka yang belum pergi hingga saat ini. Lelah sudah rasanya aku melangkah untuk meninggalkan semuanya, kupejamkan mataku dengan harapan agar aku bisa sedikit melupakan apa yang terjadi. Namun, sayang seribu sayang semua yang ingin kulupakan malah semakin bersemayam dan semakin menyiksaku dengan segala yang ada. Kemana lagi harus kulangkahkan kakiku pergi untuk mengadu bahwa aku ingin melupakan semuanya. Dimana lagi tempat untuk ku bersandar dan mengeluh dengan semua yang membuatku sedih berkepanjangan hingga kini.” Siapa aku, siapa orang tuaku. Mungkin dengan mendapat jawaban itu aku baru tenang dari segala masalah yang kuhadapi saat ini. Aku ingin tersenyum kembali seperti waktu semua ini belum ada datang padaku.” Setelah tulisan itu selesai ku tulis, aku pun perlahan memejamkan mataku. Tulisan kudekap erat sampai membuat aku tak sadar diri, bahwa aku telah terlelap tidur. *** Mentari pagi menyinari kelopak jendela kamarku, suara burung kesayangan bapakku juga ikut berkicau diteras rumahku. Aku melangkah kan kakiku dari kamar untuk bergegas kesekolah, karena saat itu sudah tepat pukul 06. 35. “Ran,,kamu tidak sarapan dulu, sebelum berangkat kesekolah,” tanya ibuku sambil menyiapkan sarapan dimeja makan. “Tidak bu, Ranti takut telat nanti. Ranti sarapan disekolah saja nanti,” jawabku dengan memberikan senyuman kepada ibuku. “Ya sudah, kamu hati-hati dijalan ya,” kata ibuku sambil mendekatiku. Akupun menyium tangan ibuku, segera pamit untuk pergi kesekolah. Dengan senyum yang lebar ibu ikut mengantarku kedepan. Akupun melajukan mobilku menuju sekolah. Baru hari ini, aku disekolah seperti orang asing. Aku tak bergabung dengan temanku yang lain. Mereka pun menjadi heran melihat sikapku yang dari pagi hanya terdiam dibangku kelasku. “Ranti,, pake mobil baru ke sekolah, tapi kok nyampainya kesekolah jadi bengong ya,” kata salah satu temanku. “Bengong apa, dia kehabisan bensin kali dijalan tadi, dan sekarang diam karena kecapean,” kata temanku yang kedua. “Udah ah, aku hari ini mau diam aja, aku tak mau ikut dengan kalian biarkan aku sendiri disini,”kataku dengan mengacungkan jari telunjukku menyuruh mereka menjauhi ku. “Ya udah, tak masalah bagi kami,” kata mereka serempak. Aku hanya terdiam, tak sabar rasanya aku ingin pulang kerumah. Karena disekolah pun fikiranku tetap saja memikirkan hal itu. Bel tanda jam pulang pun tiba, aku berjalan paling depan untuk pulang. Teman-teman sekelilingku menatapku heran hari itu. Karena biasanya aku pulang paling akhir tapi hari itu aku pulang paling depan sekali. Mereka tak tahu apa yang kupendam sekarang, yang mereka tahu aku hanyalah orang yang suka membuat keributan. Tampak dari jauh, sebelum sampai diparkiran mobilku. Aku melihat seorang ibu yang duduk sendiri dengan menadahkan mangkok supaya terisi uang. Entah ada sentuhan apa hatiku saat itu, aku memberikan uang jajanku kepada orang tua itu. Padahala hari-hari lain sebelum masalah itu datang kepadaku, aku sering mengolok ibu itu, menertawakannya dengan kedua orang temanku. Kami bilang ibu itu bau, jelek, kumal, kotor bahkan sering juga aku lemapri tisu bekas keringatku. “Terima kasih ya nak, semoga Tuhan menunjukkan jalan yang terbaik bagimu,”kata ibu itu sambil mencium uang yang kuberikan padanya. Aku tak menjawab kata ibu itu, aku langsung bergegas pulang menuju rumahku. Ku pacu mobilku kencang supaya aku cepat sampai dirumah. Sampai dirumah kudapati ibu sedang duduk sendiri diruang tamu, sepertinya ibu sedang memikirkan sesuatu. “Ibu tak masuk kerjakah hari ini,” tanyaku sambil menyimpan tas diatas meja. “Tidak Ran, ibu hari ini kebetulan lagi libur,” jawabnya sambil tersenyum. Aku duduk tepat disamping ibuku,dengan wajah yang penuh tanda tanya kaupun mulai ingin bertanya dengan ibuku. Namun, tiba-tiba ibuku menyuruhku makan siang, pertanyaan yang sudah siap ingin kutanyakan semuanya hilang. Aku langsung menuju meja makan kebetulan aku memang sedang lapar. Ibu pun duduk disampingku, sambil memperhatikanku makan. Selesai aku makan, ibu pun tetap memperhatikanku dengan seksama. Aku tak menyangka kalau ibu juga memikirkan hal yang sama dengan yang kufikirkan saat itu. “Ran,,darimana kamu tahu tentang siapa orang tua kandungmu Ran,”tanya ibu, Aku terdiam, tertunduk, mataku melotot kaget. Aku bertanya sendiri dalam hatiku darimana ibu tahu tentang apa yang menjadi beban fikiranku saat ini. “Aku tahu dari seorang bapak-bapak bu, kemarin ketemu disupermaket,” jawabku sambil menundukkan kepalaku kembali. Ibu kembali mengusap pundakku, menyabarkanku. “Ibu tahu ini, dari tulisan yang ada diatas kasurmu, kebetulan tadi pagi ibu tak sengaja melihatnya. Kemudian ibu membacanya,” kata ibuku. Aku merasa serba salah, sebenarnya aku ingin pertanyaan itu langsung kutanyakan bukan malah ibu tahu dulu tentang itu. Aku tak bisa memutar waktu kembali lagi, yang jelas kenyataannya sekarang ibu sudah tau apa yang membuatku sering mengurung diri. “Tapi ibu mau jujurkan kepadaku,’ tanyaku kepada ibuku. “Biar ini mendapat kejelasan, dan kamu pun ingin dapat jawabannya, tunggu nanti bapakmu pulang dari pasar,” kata ibuku. Aku langsung melangkah menuju kamar, dengan alasan aku mau ganti pakaian kepada ibuku. *** Malam pun tiba, malam itu tak seperti malam biasanya yang sealalu terdengar suara Tv, dan juga biasanya malam-malam yang lalu terdengar ramai oleh suara adik-adikku bermain. Namun, malam ini semuanya terdiam, yang ada hanya bunyi dentingan jam. Aku duduk disebelah adik keduaku, kulihat dari depanku ibu dan bapakku terdiam menunggu kehadiranku diruang tengah ini. Sepertinya juga ibu telah bercerita kepada bapak tentang apa yang mau kutanyakan kepadanya saat ini. Suara deringan handphone bapakku memecah keheningan, yang semula semua terdiam, aku menoleh kearah bapakku. Ternyata ada pesan singkat masuk kehandphonenya. Bapakku pun membacanya diam-diam, entah apa isi pesan itu aku juga tidak tahu. “Ran,,bapak sudah tahu apa yang menjadi masalah besar bagi kamu saat ini, bapak juga sudah mendapat cerita dari ibumu tadi siang,” kata bapakku sambil menatapku. “jadi Pak, siapa orang tua ranti sesungguhnya,” kataku sambil mengelus air mataku yang tiba-tiba menetes. “Ran,semua ini sudah berjalan 16 tahun yang lalu. Memang benar kamu bukan anak kandung ibumu. Tapi kamu sudah kami adopsi sejak kamu berumur sepuluh hari, kedua orang tua kamu masih hidup Ran, ” kata bapakku menjelaskan kepadaku. Aku tersentak, air mataku mengalir tanpa ada batas hentinya. Ia terus mengalir bersama tangisku yang terisak-isak. Jadi memang benar, aku bukan anak kandung dari ibu yang selama ini membesarku. Aku dibesarkan dengan segala kemewahan tapi bukan dari orang tua yang telah melahirkanku. Aku tak dapat menahan air mataku, hingga ibu pun mendekatiku dan menyuruhku sabar untuk mengahadapi kenyataan ini. Keesokan paginya, ibu dan bapakku mengajakku pergi kesuatu tempat, yang tempatnya tak pernah beritahukan kepadaku. Aku hanya menuruti mereka saja, tanpa mau bertanya lagi kemana mau pergi. Mobil yang dikemudikan bapakpun melaju keluar kota. Tepat pukul 08.30 mobil bapak pun dihentikan disuatu tempat yang bagiku tempat itu adalah tempat untuk para penjahat. Tempat yang menampung para tangkapan polisi, tempat untuk orang yang melanggar hukum. Ya, tempat itu adalah lapas,sebuah lembaga permasyarakatan terbesar dikotaku. Aku menarik nafas panjang, lalu kehembuskan dengan pelan-pelan. Dalam hatiku terus bertanya, untuk apa bapakku membawa aku kesini. Kenyataan tak seperti dugaanku, disitu aku dipertemukan dengan seorang lelaki yang umurnya kira-kira 47 tahun. Dengan tatapannya yang tajam, dengan pakaian yang seadanya lelaki itupun terus menatapku. Sedang bapak dan ibuku hanya diam, dan sepertinya mereka juga kenal dengan orang itu. “Ran, inilah Pak Adi. Bapak kandungmu, yang telah menitipkan kamu dari kecil kepada kami,”kata bapakku sambil memegang pundak orang itu. “Bapakku,” aku sedikit kaget mendengar pernyataan bapakku seperti itu. “Ya Ran, dialah bapakmu,”jawab ibu meyaknkanku. Aku menangis meneteskan air mata pilu, kudekap tubuh bapak kandungku, ia pun membalas dekapanku. Tangis haru bercampur bahagia menyatu menjadi satu saat itu. Tanda tanya yang melekat dibenakku tentang siapa orang tuaku kini sudah terjawablah sudah. Aku mendekap bapakku dengan sekuat-kuatnya,melepaskan rindu yang bertahun-tahun tak pernah berjumpa. Kemudian aku pun melepaskan pelukanku. “Ibu dimana Pak,” tanya ku. “Ibu kamu sebentar lagi datang untuk mengantari bapak makan siang disini,” jawab bapakku. Dari kejauhan kulihat sosok wanita yang berjalan menuju kearah dimana kami berdiri, dengan satu kantong hitam yang dijinjingnya. Aku menatap kearah wanita itu, begitu juga dengan Pak Adi dan kedua Orang tuaku,mereka juga ikiut memperhatikan wanita itu. Wanita itu semakin mendekati kami,hingga semakin dekat jarakku dengannya. Wajahnya yang tak asing bagiku membuatku mengingat kembali, dimana aku pernah bertemu dengan wanita itu?. Fikirku melayang-layang untuk mengingat wajah wanita itu. Aku pun teringat kejadian disekolah, bahwa aku sering menghina dan mengolok wanita itu, hingga hari terakhir aku bertemu dengannya aku memberi ia uang jajanku. “Ini ibumu,”Pak Adi pun memeperkenalkan wanita itu kepadaku. Air mataku tak dapat kutahan lagi, begitu jahatnya aku sebagai manusia. Hingga orang yang sering kuolok-olok,kutertawakan bahkan sering kulempari tisu bekas keringatku sendiri itu adalah ibu kandungku. Rasa penyesalan mendalam hadir dalam hidupku saat itu. Aku pun semakin kencang menangis, kupeluk wanita itu yang ternyata adalah ibu. Kupeluk erat, berkali-kali kucium keningnya. Sembah sujudku dihapannya untuk memohaon ampun atas apa yang selama ini telah kuperbuat kepadanya. Kucium telapak kakinya. Sambil aku berdoa, “Ya Tuhan ampunilah dosaku kepada kedua tuaku, aku tau selama ini aku telah banyak melakukan kesalahan besar kepada mereka,ampuni aku, maafkan atas semua dosaku ya Tuhan.” Aku baru sadar, bahwa segala yang kumiliki saat ini bukanlah pembeda dari yang lainnya. Harta dan segala kemewahan yang kupunya bukan milikku selamanya melainkan hanya titipan. Aku kembali kejalanmu Ya Tuhan, aku akan menjadi orang yang selalu mensyukuri sagala nikmatmu. Tuhan ampuni aku yang begitu banyak dosa ini, ampuni juga dosa kedua orang tuaku yang melahirkanku, kedua orang tuaku yang membesarkanku. Bantu mereka dalam setiap masalah yang telah hadir diantara mereka. Selepas kejadian itu, aku seperti baru dilahirkan kembali kedunia ini. Hidupku yang semulanya bergemelut dengan harta dan kemewahan kini perlahan kutinggalkan. Tak lupa aku meminta maaf kepada kedua orang tuaku yang telah membesarkanku, kepada teman-teman disekolahku, dan juga kepadaku guruku. Aku akan berjanji pada diriku sendiri bahwa aku ingin menjadi anak yang bisa membanggakan orang tuanya dirumah.

Selasa, 13 Mei 2014

Bayangmu


RIKO
Kini ku coba jalani hidup sendiri
Tanpa ada bayang dia lagi
Yang dulu menyakiti
Kini hidupku pun telah berubah
Lepas dari cerita cinta dia yang dulu
Penuh luka dan pedih

Reff :
Bayang-bayang dirinya kini mulai memudar
Lenyap tinggalkan jejaknya yang
Tersirat hanya kenangan yang
Tertulis dihatiku
Belum sempurna yang kuharapkan bayangmu masih
Selalu ada datang setiap malam dimimpiku

Aku tak kuasa

Cinta Khayalanku

                                             
                                                                                                        
Senyum manismu terbayang selalu
Menghiasiku setiap mimpi
Mimpi ditidurku
Tutur sapamu teringatkan selalu
Membuat aku ingin selalu
Mengkhayalkanmu
Reff :

Kaulah mimpiku yang tercipta paling indah
Walau dirimu takkan mampu tuk kuraih
Tapi Kamu its my love in my dream
Kau  pujaanku yang slalu ku kagumi
Walau diriku takkan pernah milikimu

Kamu hanya cinta khayalanku

“ Bisikan Rindu, dari Ibu “


Entah apa yang membuatku malam ini begitu rindu dengan keluargaku dikampung. Setelah lima belas tahun aku merantau meninggalkan rumah tiba-tiba baru saat ini aku merasakan ada desakan yang membuatku rindu dengan kampung halamanku. Memang kusadari setelah kepergianku melangkahkan kaki dari rumah, aku tak pernah memberi kabar keluargaku, terutama memberi kabar kepada kedua orang tuaku. Baru kusadari bahwa aku begitu tega dengan keluargaku disana, aku tahu mereka disana selalu merindukan kehadiranku, setiap saat selalu menantikan kabarku, biar tahu bagaimana keadaanku. Namun, aku disini tak pernah memikirkan apa yang mereka pikirkan, sungguh jahatnya aku sebagai anak harus melupakan orang tuaku.
Tangis yang keluar dimataku malam ini mungkin adalah sebuah penyesalan setelah pergi meninggalkan rumah selama lima belas tahun. Air mata yang menetes ini bukanlah air mata biasa yang kuteteskan saat aku menangis karena gajiku tak dibayar. Namun, air mataku kali ini adalah air mata penuh dosa, yang telah melupakan orang tuaku dikampung.
Malam ini mataku tak bisa tertidur, aku selalu teringat dengan kedua orang tuaku dirumah. Dalam hatiku yang terdalam terasa mendapat panggilan yang besar untuk kembali.
“Ya Tuhan ada apa gerangan semua ini, ada apa dengan keluargaku disana yang membuatku tiba-tiba rindu,” tanyaku dalam hati sambil tersandar duduk.
Jam ditanganku tepat menunjukkan pukul 00.00 aku pu keluar dari kamar melewati kamar-kamar rekan kerjaku, aku membawa semua barang-barangku dengan sebuah ransel. Pelan-pelan kulangkahkan kakiku agar tak terdengar oleh yang lain. Kutelusuri jalan kota dengan berjalan kaki, letih dan jauh tak pernah kuperdulikan. Aku malam itu ingin rasanya secepat-cepatnya pulang menuju kampung halamanku. Walaupun jauh kuberjalan menuju dermaga kapal, namun malam itu semuanya tak pernah kuhiraukan. Aku tak pernah peduli dengan pekerjaanku, padahal hari ini aku harus datang kebagian bendahara perusahaan untuk mengambil gajiku bulan ini. Semua itu tak membuat niatku surut untuk pulang, aku tahu setelah lima tahun aku jauh dari rumah baru kali ini aku mempunyai desakan yang begitu dahsyat.
Dermaga kapal pun dapat kutempuh setelah berjalan kaki selama tiga jam, penat dan letih membuatku tersandar dikursi tempat pengantrian pembelian tiket kapal.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan dua orang yang tak pernah kukenal sebelumnya, dua orang itu terus menarik tas kecil yang kugendong dipundakku.
“ Woi..ada apa ini main tarik-tarik,”kataku kaget.
Mereka berdua terus memaksa menarik tasku hingga tali yang menggantung dipundakku terputus. Aku tak bisa berbuat apa-apa, sementara teman yang satunya memegang erat tubuhku, hingga aku tak bisa bergerak. Salah satu temannya mengambil tas kecilku itu yang didalamnya berisi uang, dan kartu identitasku. Mereka berdua berlari selesai mendapatkan apa yang mereka inginkan, sementara aku hanya tegeletak ditanah.
Matahari pagi pun mulai muncul diufuk timur, aku tak tahu bagaimana untuk pulang sedangkan uang untuk ongkosku pulang raib diambil pencopet. Aku hanya terdiam sambil memperhatikan orang-orang yang mengantri tiket. Teriris pilu dihatiku, aku hanya menundukkan kepala sambil memegang ranselku.
 “Inikah cobaan yang kuhadapi untuk pulang kerumah, Ya Tuhan mengapa cobaan ini begitu berat kurasakan,” bisik hatiku yang terdalam.
Ku perhatikan kapal pun mulai berangkat dari dermaga, hati ku menangis pilu. Tak dapat kubendung air mataku yang menetes melihat kapal itu berangkat. Seharusnya aku ada dalam kapal itu, seharusnya aku cepat sampai dirumah. Kupejamkan mataku, lalu kutadahkan wajahku kelangit, kutatap matahari yang mulai bersinar dengan terik, kutarik nafasku dengan mendesah ku hembuskan pelan-pelan agar sedikit perasaanku bisa tenang. Aku tak mungkin harus kembali keperusahaan dimana aku berkerja, karena kepulanganku secara diam-diam ini pasti sudah diketahui oleh bos dan rekan kerjaku karena melihat isi kamarku yang kosong.
Hatiku terus menangis meratapi apa yang terjadi padaku, tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang oleh seorang lelaki tua yang umurnya kira-kira sama dengan Ayahku dirumah. Ia bertanya kepadaku mengapa aku menangis seperti itu, akupun cerita kepadanya dengan apa yang baru kualami. Dengan niatnya yang tulus akhirnya lelaki tua itu mau membantuku mencarikan aku pekerjaan sementara untukku bertahan hidup disitu. Akupun berjalan mengikuti langkah lelaki tua yang baru kukenal itu. Alhamdulillah, aku dipertemukan dengan anaknya yang mempunyai satu proyek kerja bangunan. Aku pun ikut kerja pada hari itu juga. Tanpa pernah berfikir lagi segala resikonya, tawaran anaknya pun langsung ku ia kan, karena aku memang butuh pekerjaan untuk mendapat uang agar aku bisa kembali kerumah.
***
Lima belas hari aku ikut berkerja membuat bangunan walet tak jauh dari dermaga, dengan gaji yang cukup untukku, hari itupun aku langsung memutuskan untuk pulang. Karena hatiku yang terdalam sangat merindukan kedua orang tuaku. Sebelum aku pulang aku tertunduk merendahkan diri dihadapan Tuhan, kujatuhkan badanku bersujud untuk mensyukuri hikmah yang telah ia curahkan untukku.
Pagi pun menjelang ditepi dermaga, aku bergegas menuju kapal setelah mendapatkan tiket masuk. Senyum terakhir terpancar dari lelaki tua yang telah menampungku lima belas hari didermaga itu. Akupun melambaikan tanganku kepada nya. Dengan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadanya, kemudian kapalpun mulai menjauh dari dermaga.
Aku duduk disudut kapal yang perlahan semakin jauh meninggalkan dermaga. Kutatapi potret ibu dan bapakku yang masih tersimpan didompetku. Terisis kembali hatiku, aku semakin tak sabar mau secepatnya datang kerumah bertemu mereka. Ingin rasanya kuungkapkan sejuta rindu yang kini ku bawa untuk mereka. Perjalanan pun semakin jauh, hingga yang dapat kupandang hanyalah lautan yang luas, hanya ada gelombang yang berlari berkejaran kemudian memecah terhempas didinding kapal.
Menjelang azan subuh, kapal yang membawaku sudah berlabuh didermaga kota kelahiranku. Raut mukaku pun bertambah jadi bahagia melihat lampu-lampu kota yang bersinar, yang ditemani sahutan kokok ayam yang bagiku ini baru kudengar lagi setelah lima tahun aku meninggalkan kota kelahiranku. Akupun bergegas keluar dari pintu depan kapal yang menumpangiku, segala penat yang kurasa, mabuk laut yang sempat kurasakan tak pernah kufikirkan karena besarnya desakan rindu yang membawaku untuk pulang kerumah.
Matahari mulai menyinsing dibelakangku, aku mencari ojek untuk menuju kerumahku. Perjalanan dari dermaga menuju rumahku pun dapat kutempuh, hingga tak beberapa lama aku sudah berada tepat dihalaman rumahku. Melihat halaman rumahku, melihat rumah yang jauh sudah berubah, yang dulunya masih tegap berdiri dengan kayu penyangga yang kuat, tapi kini mulai luntur dimakan waktu, warna dinding yang telah memudar, tiang-tiang rumah yang mulai dihinggapi binatang yang melapukkan. Lima belas tahun kutinggalkan kini sudah banyak perubahan, dulu aku melangkah pergi dari rumah masih berumur belasan tahun tapi kini aku pulang sudah hampir tiga puluhan. Sebelum aku melangkah masuk kedalam rumahku, aku teringat lima belas tahun yang lalu. Saat ayahku mengusirku pergi dari rumah, ibu hanya menangis ditepi pintu melihat kepergianku. Memang kesalahan itu ku kubuat sendiri. Aku terlalu egois pada diriku sendiri dengan lari dari kenyataan yang seharusnya kupertanggung jawabkan.
Pelan-pelan kulangkahkan kakiku masuk kedalam rumah, kuketuk pintu yang mulai berdebu dimakan waktu. Kuletakkan ransel pakaianku, kembali kuulangi mengetuk pintu agar aku segera dibukakan. Anak perempuan kira-kira berusia 14 tahun membukakan aku pintu rumah.
“Ada apa ya om” katanya sambil menatapku heran.
“Rumah ini ada orangnya kah,” jawabku sambil membalas tatapannya.
“Oya om, orang rumah ada kok, nenek lagi dikamar,” jawabnya sambil mempersilahkan aku masuk.
Aku merasa heran sekali dengan jawaban gadis kecil itu yang mengatakan dan menyebut ibuku adalah neneknya. Padahal aku tahu aku adalah anak satu-satunya dikeluargaku. Kalau anak sepupuku juga tidak mungkin mau tinggal dikampung seperti ini, bisikku dalam hati.
Aku terus mengikuti langkah gadis itu menuju kamar tempat ibuku. Kemudian gadis kecil itupun mempersilahkan aku masuk kekamar. Kulihat dari celah-celah kelampu putih yang terang tampak seorang perempuan terbujur di atas kasur, ya dialah ibuku. Aku langsung mendekap tubuhnya erat tanpa berkata terlebih dahulu. Aku tahu saat itu ibuku pasti heran dengan kedatanganku yang tiba-tiba memeluknya sambil menangis. Aku tak henti-hentinya menangis tersedu.
“Siapa kamu tiba-tiba menangis memelukku,” kata ibuku sambil tangannya menjauhkan tubuhku darinya.
“Aku Aldo bu, Aldo anak ibu yang lima belas tahun pergi meninggalkan Ibu,” jawabku terisak-isak.
“Aldo,”
Ibuku pun terus mendekapku erat, kutahu dia sangat merindukan kehadiranku. Setelah belasan tahun aku pergi baru sekarang bertemu kembali. Aku pun mencium keningnya, air mataku yang terus menetes membuat tangan ibuku bergerak untuk menghapus air mataku. Suasana dalam kamar saat itu memang mengharukan, ditambah tangisku yang kuat. Aku pu mencium kedua tangan ibuku dan meminta maaf atas apa yang telah kulakukan selama ini kepadanya.
Sementara gadis kecil yang duduk disebelah kiriku hanya menatap heran, sedikit air matanya juga ikut terjatuh menyaksikan keharuan tangisku dan tangis ibu yang menyatu. Dia hanya menatapiku dengan seribu tanda tanya, mungkin juga saat itu dia bertanya siapakah aku. Mungkin juga dalam fikirannya bertanya mengapa aku menangis seperti itu?
Ibupun duduk disamping kananku, lalu ibu memanggil gadis itu untuk duduk dekat disampingku.
“Suci, kesini dekat nenek,” kata ibuku sambil mengusap pelan tetesan air matanya.
“ Ia nek,”jawabnya polos.
Gadis itupun mendekatiku dan duduk berdampingan denganku.
“Suci, kamu tahu nak ini siapa,” tanya ibuku kepada gadis itu.
“Aku tidak tahu nek,”jawabnya singkat.
“Inilah bapakmu Suci,” kata ibuku sambil memegang pundakku.
Aku tersentak kaget, gadis kecil yang penuh dengan kepolosan itu ternyata adalah anakku. Anak yang kutinggalkan pergi lima belas tahun dari rumah, karena dengan alasan aku tak ingin menikahi ibunya. Hatiku yang terdalam menyimpan seribu sesal yang tak dapat kuungkapkan dengan apa-apa. Aku hanya bisa menatapi wajah polos gadis itu dengan seksama.
Akupun memeluk gadis itu sambil menangis, kuciumi rambutnya yang hitam dan lebat itu. Kubelai dengan segala curahan kasih sayang yang selama ini tak pernah kuberikan kepadanya.
“Suci, maafkan aku, maafkan aku untuk semua salah yang tak terhitung kepadamu,”kataku sambil menangis.
Gadis kecil itu hanya bisa menangis dipelukanku.
Ibu mengusap pundakku dari belakang, aku rindu sekali dengan usapan ibu kepadaku seperti itu. Terasa usapan ibu yang kali ini adalah usapan ibu yang dulu saat membangunkan aku diwaktu pagi dari tidur malam.
“Ayah kemana bu,” kataku sambil melepas pelukanku terhadap gadis itu.
Ibu hanya terdiam sejenak mendengar pertanyaanku seperti itu.
“Ayah kamu sudah meninggal saat kepergianmu menginjak delapan bulan,” kata ibuku sambil menangis kembali.
Aku kembali menjadi lemas, terasa berdosanya aku sampai ayahku meninggal aku tak berada disampingnya.
“Ya Tuhan ampunilah aku yang begitu banyak melakukan kesalahan ini, ampuni dosa kedua orang tuaku ya Tuhan,” doaku dalam hati.
Aku merengkuh Suci dan ibuku, mendekap mereka lewat kiri dan kananku. Kami bertiga menangis serempak, tak ada yang bisa tahu betapa keharuan hadir diantara itu. Tangisku yang haru akan rindu bercampur menjadi satu setelah tahu bahwa ayahku teah meninggal.
Aku bertanya kepada ibuku tentang Ibu Suci yang telah melahirkannya.
“Dina kemana bu, kok hanya suci disini,” tanyaku kepadaku ibu
“Ibu sudah tidak ada Pak, ia meninggal saat melahirkan Suci,”jawab Suci sambil menangis.
Hatiku semakin merasa terpukul, lima belas tahun berlalu pergi tanpa kabar. Bukan hanya dinding dan tiang rumah yang lapuk, melainkan anggota keluarga dan orang tersayang bagiku juga telah pergi untuk selamanya. Aku hanya bisa menyesali semua yang telah lalu tanpa harus bisa memutar waktu untuk kembali seperti dulu. Saat semuanya tertawa bersamaku, dan saat semua ada didekatku.
Aku begitu banyak dosa kepada ibu dan ayahku dengan meninggalkan mereka dari rumah. Aku terlalu mengikuti arah nafsuku. Aku juga berdosa kepada Dina yang hamil tak kunikahi hingga kini lahir anak dari hubungan kami dulu bernama Suci. Seandainya dulu aku mau menikah dengan Dina, mungkin aku takkan pergi meninggalkan rumah setahunpun. Aku juga akan hadir saat ayahku sakit sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya. Tapi itu hanya sebuah penyesalan, waktu takkan dapat lagi kuputar.
Tiba-tiba suci mendekatiku dan memberikan selembar kertas kepadaku. Lalu akupun membuka lipatan kertas itu dan tertulis dengan tulisan tangannya sendiri.
Andai dunia ini ada dalam pelukku.
Mungkin engkau tahu apa yang ku rasakan sekarang.
Segala kerinduan akan hadirmu disisiku.
Segala kehangatan yang kami dambakan dari hangatnya pelukanmu.
Dapat kau rasakan seperti apa yang aku rasakan.
Tapi dunia luas memisahkan kita, hingga hadirmu tak dapat kusentuh.
Hanya ada bayanganmu yang selalu terlintas dalam benakku.
Engkau anakku, selalu kurindukan untuk menemaniku masa tuaku.
Beribu jarak dan beribu waktu yang kau tempuh.
Beribu pulau dan beribu jembatan yang kau lalui.
Tidakkah membuat hatimu berpaut rindu untuk kembali.
Pulanglah Aldo.
Kembali dalam pelukanku.

Aku menangis membaca kata-kata ibuku yang ditulis Suci yang diberikannya kepadaku. Ternyata aku memang mendapat panggilan untuk kembali kerumah, hingga membuat ku terus bersikeras untuk pulang.
Kini aku akan hidup bersama ibu dan gadis kecil bernama Suci, aku berjanji tak akan meninggalkan mereka sampai akhir hayat yang harus memisahkan kami.





Fotoku

Senin, 12 Mei 2014

Tangis Penyesalan Di Balik Siapa Aku

Ceritaku Di Idul Fitri




“Mengejar Mimpi, Bersama Sahabat”




Pagi itu aku datang kekampus dengan tergesa-gesa, untung dikelas belum ada dosennya. Tiba-tiba teman-teman sekelasku memberikan selamat kepadaku. Aku menjadi heran dan bingung dengan sikap mereka yang memperlakukanku seperti itu, aku bertanya-tanya sendiri dalam hatiku tentang sikap mereka. Kemudian Rendy teman akrabku dikampus memberikan satu majalah musik kepadaku.
“ Apaan ini Ren,” tanya ku ingin tau
“ Coba kamu buka aja, disitu ada pengumuman,” katanya sambil memberikan majalah itu ketanganku
Aku kaget sekali melihat pengumuman di majalah musik itu, disitu tertera namaku. Aku merasa tak yakin bahwa itu namaku yang tertulis sebagai urutan pertama, karena aku tak pernah mengirimkan demo lagu ke majalah musik tersebut, dan aku juga tak pernah ikut lomba cipta lagu. Kulihat lagi dengan seksama ternyata memang benar namaku, tertulis beserta  judul lagu ciptaanku dan dilengkapi dengan lirik-liriknya.
“Astaga.. apa ini darimana masuknya laguku kemajalah ini, aku tak pernah mengirim laguku ini kisini,” kataku menggumam dalam hati.
Difikiranku langsung teringat dengan kejadian beberapa waktu lalu, aku pernah bertengkar dengan sahabat dekatku Ina Oktarinasari yang menyuruhku mengirimkan lagu ciptaanku ke majalah musik itu, kebetulan majalah musik itu lagi membuka album kompilasi. Namun, aku menolak dengan alasan lagu itu tak mungkin dimuat jadi album kompilasi. Lagu itu hanya sedikit liriknya dan iramanya tak sebagus karya-karya musisi-musisi terkenal lainnya. Tapi saat ini aku dibuat kesal olehnya karena tanpa seizinku mengirimkan karyaku tersebut.
Kulangkahkan kakiku keluar parkiran kampus, aku tak perduli dengan ada kuliah pagi itu. Ku pacu motorku keluar dari halaman kampus menuju Kampus Fisipol untuk mencari Ina. Kucari-cari Ina juga tidak ada dikampusnya, kutanya dengan teman-teman sekelasnya juga semua menjawab tidak tahu. Aku semakin dibuatnya menjadi bingung sekali, dicari dimana-mana tidak ada, no handphonenya juga tidak aktif.
“ Ina....dimanakah kamu,” kataku sambil menuju keluar dari kampus Fisipol.
Sebelum sampai di parkiran motor, tiba-tiba handphoneku berdering, kulihat yang memanggilku ternyata Rendy
“ Hallo Ren,” sapaku sambil menaruh handphone ditelingaku
“ Ko,, Ibu masuk” katanya membalas sapaanku.
“Ren.. kayaknya aku tidak bisa masuk hari ini, aku mau mencari Ina dulu,” jawabku menjelaskan
“ okelah, nanti aku izinkan,” kata Rendy mengakhiri pembicaraan.
Aku langsung menghidupkan motorku keluar parkiran kampus Fisipol. Aku merasa tak enak untuk meninggalkan mata kuliah pagi itu,karena pagi itu mata kuliah Penologi sedang ada diskusi yang nantinya akan menjadi nilai tugas bagiku. Tapi kali ini aku terpaksa tidak masuk karena aku ingin mencari Ina untuk mengetahui kejelasan tentang laguku yang dikirimnya.
Tepat pukul 10.10 Wib aku sampai rumah  Ina. Rasanya aku ingin marah padanya. Berkali-kali kupencet bell rumahnya tapi belum juga aku dibukakannya pintu. Aku semakin tak sabar menunggu dia membuka pintu rumahnya untukku. Hati yang geram ingin marah, rasanya mau cepat-cepat kuluahkan dihadapannya, perasaan emosi yang memuncak semakin tak dapat kutahan hingga membuat mukaku menjadi merah padam.
Aku sempat putus asa dengan dengan keadaan seperti itu, sudah jauh-jauh aku pergi dari kampus hanya untuk menuju ke rumahnya, dengan meninggalkan mata kuliah yang seharusnya aku hadir dikelas. Namun, sesampai dirumahnya tak juga dapat kutemui dia. Aku semakin merasa dihantui emosi yang memuncak dan kemudian aku pun terdiam.
Selang beberapa menit aku duduk diteras rumahnya, pintu pun sedikit demi sedikit terbuka. Aku langsung masuk seolah-olah tanpa permisi, perasaan emosi ingin marah kepadanya tiba-tiba terhenti seperti dihentikan oleh sesuatu  yang kuat. Kutatap wajah orang yang membuka kan aku pintu, teriris pilu didalam hatiku. Mataku tak dapat untuk kukedipkan. Semua perasaan emosi yang menyurutku masuk seakan tak berguna melihat wajah Ina yang pucat memandangku. Wajahnya kelihatan menyimpan seribu sedih, dalam hatinya juga seakan memendam seribu masalah. Kudekati dia disebalik pintu.
“ Ina.. kenapa dengan kamu,” tanyaku heran
“Aku kemarin kecelakaan Ko.. tanganku patah,” jawabnya sambil memegang tangannya.
“Astarfirullah.. Ya Allah, aku terlalu dipaksa emosiku, aku terlalu menuruti amarahku,” kataku dalam hati sambil memejamkan mataku.
Akupun duduk didekat Ina, aku tau dialah sahabat terdekatku yang saat ini selalu mengerti aku. Aku juga tau dia lebih dari seorang pacar, perhatiannya, segala kenangan bersamanya selalu kami kenang saat kumpul bersama teman yang lain. Ya dialah Ina sahabat terbaikku.
Aku tidak langsung bertanya tentang lagu ku yang dikirimnya kemajalah musik itu. Aku merasa sedikit tertahan melihat keadaannya yang seperti ini. Tiba-tiba Ina membuyarkan lamunanku.
“Ko.. maaf  ya aku mengirim lagu Cinta Khayalan karyamu tanpa seizin kamu. Niatku cuma satu Ko, aku ingin melihat kamu menjadi orang yang sukses. Bakat kamu bisa dilihat orang banyak dan karya-karyamu bisa diperdengarkan luas,” kata Ina dengan sedikit membuatku iba.
Aku tertunduk mendengar kata-katanya yang begitu dalam untukku. Aku telah salah menilai dia, aku salah harus marah kepadanya. Niatnya yang tulus untukku tak sepatutnya kubalas dengan kemarahanku.
“Ina ,, aku sudah tau semua itu.. maafkan juga aku sudah berprasangka buruk terhadapmu,” kataku sambil membuat tegar hatinya.
Ina hanya menatapku dengan wajah yang heran, memang mata dan mukaku sedikit merah karena menahan marah. Namun, melihat keadaannya seperti itu mukaku langsung berubah.
Selang beberapa waktu aku terdiam. Kemudian Aku langsung pamit pulang, senyum manisnya menghantarkanku sampai kehalaman rumahnya. Segala keluh resah yang dirasakannya dapat ia tutupi dengan sebuah senyum panjang. Aku semakin tak kuasa melihat wajah sahabat terbaikku yang memaksakan diri tersenyum dihadapanku, walau ku tahu dihatinya menyimpan kesedihan atas musibah yang menimpanya.
Aku langsung bergegas pulang menuju kampus. Dalam fikiranku selalu terbayang tentang sikapku kepada Ina tadi. Aku begitu mengikuti emosiku tanpa harus tau bagaimana niatnya untukku. Aku semakin rasa bersalah besar kepada diriku sendiri dan juga kepada Ina.
                                                            ****
Panggilan dari majalah musik itu pun datang kepadaku. Aku diminta untuk mengisi album kompilasi yang bertajuk “ Segala kisah dan cerita “. Lagu cinta khayalan lagu ciptaanku menjadi lagu pembuka dalam album kompilasi itu. Malam itu mataku tak dapat kupejamkan, aku masih bingung untuk pergi ke jakarta bagaimana, sedangkan uang tidak ada. Aku juga di Pontianak sini hanya sebagai anak kost. Tapi aku memang pernah bermimpi untuk menjadi orang terkenal. Lalu aku jadi teringat dengan kata-kata Ina, dia mengirim karyaku walau tanpa seizinku hanya ingin membuat aku terkenal dan karya-karyaku bisa didengar oleh orang banyak. Aku mengambil handphone ku dan langsung memencet nama Ina oktarinasari untuk menghubunginya.
“ Assalamualaikum,” suara Ina memberiku salam.
“ Waalaikumsalam,’ jawabku membalas salamnya.
“ Ada apa Riko menelpon Ina malam-malam gini,” tanya Ina ingin tau.
“ Ina...besok ada acara kah ? kalau tidak ada acara, besok kita ketemu ya,” ajakku dengan nada pelan.
“Emmmm.. boleh lah. Ketemu dirumah Ina aja ya,” jawabnya
“Ya dech, makasih Ina besok tunggu jam 8 ya, Aku pasti kerumahmu,” kataku
            ‘ Ya Ina tunggu, jangan telat ya,,,udah dulu ya Ina ngantuk mau tidur,” jawab Ina
            “Ya dech,, kamu tidur aja, assalamualaikum,” kataku mengakhiri pembicaaraanku.
            “Waalaikumsalam,” jawabnya sambil menutup telponnya.
Aku merasa sedikit tenang dengan mendapat persetujuan bertemu dengan Ina. Dengan harapan ia mau mengisi vokal dalam lagu cinta khayalan yang nantinya akan menjadi lagu pembuka dalam album kompilasi itu. Pelan-pelan kupejamkan mataku, sebelum aku tertidur kuangkat tanganku mendoakan untuk kebaikan sahabatku Ina.
Ina dimataku adalah sosok sahabat yang banyak mempunyai kelebihan, suaranya bagus, pintar dan suka membantu teman. Apalagi dengan kedekatanku dengannya selama dua tahun lebih membuatku banyak mengenal karakternya. Dia selalu siap membantuku kapanpun, senyumnya yang khas dimataku. Suaranya yang lantang sering menjadi penghibur hatiku saat aku gundah dan sedang ada masalah. Dia lah sahabat terbaik yang kutemui saat aku menginjakkan kaki untuk kuliah. Walau kampus kami berbeda, Ina di Fisipol dan aku di Fakultas Hukum. Namun, kami sering kumpul dan bisa bercerita tentang diri kami masing-masing. Hingga kami berdua sempat menulis sebuah mimpi kami ditembok kost tempat tinggalku bahwa kami ingin menjadi orang yang terkenal.
Mataku pun pelan-pelan ku pejamkan, karena malam ini pun sudah larut sekali.
***

Matahari menyinari kelopak dedaunan yang hijau, kicau burung menambah suasa pagi menjadi indah. Angin yang berhembus tenang semakin menambah hangat suasana pagi itu. Aku bergegas menuju rumah Ina yang kebetulan tak seberapa jauh dari tempat tinggalku. Dengan membawa harapan Ina mau berduet denganku dan mau ikut pergi keJakarta denganku.
Sesampai dirumah Ina, kudapati dia sedang duduk diteras rumahnya sepertinya dia memang sedang menunggu kedatanganku. Dengan senyum lebar ia langsung menyambut kedatanganku, ia juga sepertinya tahu dengan harapan yang kubawa untuknya. Lalu aku mendekatinya dan akupun dipersilahkannya duduk disebelah kirinya.
“Ina.. mau kah kamu mengisi vokal lagu Cinta Khayalan yang kemarin kamu kirim kemajalah musik itu ?” tanyaku sambil menghadap kearahnya.
Ina tak langsung menjawab pertanyaanku, dia hanya diam dan tertunduk. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu saat itu.
“Bagaimana ya Ko. Kamu juga lihatkan keadaan Ina sekarang bagaimana?” jawabnya sambil menoleh kearahku.
“Na,,,bukankah kita pernah merajut mimpi sama-sama tentang lagu Cinta Khayalan ini, dulu kita berdua pernah berkata bahwa kita bisa menjadi orang terkenal,” jawabku untuk meyakinkannya.
“ Ina bisa Ko,, asal Ina bisa sembuh,” jawabnya
“Waktunya tinggal satu minggu lagi Na.. aku tidak masalah dengan keadaan kamu seperti itu, aku hanya butuh suara kamu Na,” kataku dengan nada meyakinkannya.
“Riko.. aku tak bisa bantu kamu kalau aku masih dalam keadaan seperti ini,tapi aku hanya bisa bantu kamu jadi deretan pertama dimajalah musik itu, itu sudah buat aku bangga padamu Ko” jawabnya sambil berdiri.
Ya Tuhan, dalam hati berbisik sendiri. Kutundukkan wajahku, kukepalkan tanganku seperti mau meremukkan tanganku sendiri. Mengapa saat mimpi mulai cerah datang padaku, tapi mengapa sahabatku Ina harus menerima musibah seperti ini. Tuhan, kami pernah mengukir mimpi ini disudut hati kami bahwa kami berdua bisa seperti yang lain. Ujian apakah ini yang Kau berikan pada kami saat ini.
Aku hanya menatap Ina dari tempat aku duduk, tergambar jelas dimukanya bahwa ia juga ingin menggapai mimpi itu. Tapi dihatinya yang terdalam aku juga tahu bahwa itu tak mungkin dengan keadaannya seperti ini.
Aku melangkah kakiku untuk kembali kekostku dengan tangan hampa. Segala harapan yang kubawa saat ini semuanya patah bersama langkah ku untuk menggapai mimpi itu. Aku tak tahu lagi bagaimana untuk menjelaskan semua ini, yang jelas aku telah kehilangan arah untuk melanjutkan mimpi yang terlihat sudah jelas dihadapanku.
Matahari pun semakin terik menyinari seluruh isi dunia hari itu. Angin pagi yang berhembus tenang kini mulai menjadi sedikit berhembus laju. Embun-embun pagi yang jatuh kini mulai memudar bersama sinar matahari yang panas. Burung-burung yang berkicau ikut menepikan diri untuk berlindung. Sesampai dikost ku, kuambil gitarku lalu kunyanyikan lagu Cinta khayalan itu.
Seakan lagu itu memberiku kekuatan besar , bahwa segala khayalan dan mimpi akan terwujud bila aku tak henti berlari untuk menggapainya. Ya, karena lagu itu mimpi-mimpiku perlahan menjadi cerah.
            Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dari luar dengan keras, aku tak menyangka kalau yang hadir didepanku adalah sosok sahabat ku yang hampir mematahkan langkahku. Ya, yang mengetuk pintu kamarku adalah Ina, dia datang dengan teman akrabku di kampus yaitu Rendy. Aku pun tersenyum menyambut kedatangannya. Ina langsung menyanyikan lirik lagu Cinta Khayalan itu tepat dihadapanku.
Senyum manismu terbayang selalu
Menghiasiku setiap mimpi
Mimpi ditidurku
Tutur sapamu teringatkan selalu
Membuat aku ingin selalu
Mengkhayalkanmu

Kaulah mimpiku yang tercipta paling indah
Walau dirimu takkan mampu tuk kuraih
Tapi Kamu its my love in my dream
Kau  pujaanku yang slalu ku kagumi
Walau diriku takkan pernah milikimu
Kamu hanya cinta khayalanku

            “Ko.. aku bisa bantu kamu untuk menjadi vokal dalam lagu Cinta khayalan itu,” kata Ina
            Aku merasa dibuai mimpi mendengar kata Ina seperti itu kepadaku. Aku bahagia bercampur haru mendengar jawaban Ina. Benar-benar dialah yang tahu keinginanku, aku bersujud mengucap syukur kehadirat Tuhan, mudah-mudahan mimpi yang selama ini kami ukir akan menjadi kenyataan.
                                                                        ***
            Berbekal kemampuan  dan undangan dari majalah musik, aku dan Ina hadir untuk mengisi lagu pertama di album kompilasi itu. Berkat teman-teman yang terus mendukung kami, akhirnya  Jakarta dapat kami pijak untuk pertama kalinya. Bersama Sahabat yang baik, bersama-sama  mengukir mimpi dan sekarang juga sama-sama untuk menggapainya. Yang dulu hanya bermimpi dengan keadaan seperti ini, tapi sekarang aku benar-benar ada dalam suasana ini. Melihat dan menikmati studio rekaman, yang dulu lagu Cinta Khayalan direkam didepan laptop tapi sekarang lagu Cinta Khayalan akan direkam dengan alat-alat yang canggih. Lagu cinta khayalan ini akan menjadi awal cerita perjalanan kami sekaligus menjadi lagu pembuka dalam album kompilasi. Dengan harapan yang besar agar segala yang pernah terukir akan terwujud bersama terlantunnya lagu Cinta Khayalan yang didengar  oleh  semua penikmat musik yang ada diseluruh tanah airku.
            Aku merasa bangga bisa datang bersamanya, walau keadaannya masih dalam keadaan sakit. Karena  kutau semangatnya tak pernah pudar, sama seperti semangatku. Lagu Cinta Khayalanpun menjadi Lagu pertama di album kompilasi itu, lagu itu mulai dikenal orang banyak hingga akhirnya kami pun tahu bahwa segala sesuatu yang berawal dari angan dan cita akan terwujud bila tak pernah berhenti untuk melangkah.

 
close