Aku memang nakal dimata teman-temanku. Selalu saja ada hal yang kubuat untuk membuat temanku merasa malu. Mulai dari mengolok sampai harus mempermalukan temanku dengan mengikat tali dipinggangnya hingga membuat ia terjatuh. Dikelas begitu juga aku sering sekali menjahili teman-temanku, hingga membuat aku dijauhi mereka. Guru-guru disekolahku banyak yang tak menyukai tingkahku, hingga tiap pembagian raport aku selalu mendapat nilai yang rendah. Tapi bagi ku itu tak masalah, aku selalu percaya diri dengan apa yang kupunya. Dengan segala caraku akhirnya aku bisa naik kelas walaupun bukan dengan cara yang dibenarkan. Aku naik kekelas dua SMA harus mengeluarkan uang untuk menyogok wali kelasku agar aku bisa naik kelas dan aku minta naik dikelas dua Ipa, karena kata kakak kelasku anak Ipa itu tergolong anak-anak yang pintar. Mendengar pernyataan itulah aku mau naik dikelas Ipa, walau sebenarnya tak sesuai dengan kekampuanku.
Di sekolah aku hanya berteman dengan dua orang saja, karena menurutku kami bertiga itu sama, sama jahilnya dan juga sama kayanya. Dengan geng yang kami beri nama “ Simple “ menjadikan kami dikenal oleh seluruh siswa disekolahku. Dikenal bukan karena prestasi kami, melainkan dikenal karena kenakalan kami. Sering dihukum, dijemur, bahkan sering juga kami diskor. Dasar anak bandel, semua yang kami terima tak pernah membuat kami jera, apalagi membuat kami sampai sadar. Sungguh luar biasa perilaku kami disekolah.
Aku dibesarkan dari keluarga yang mempunyai jabatan, ibuku seorang Jaksa dan bapakku adalah pemilik tambang Emas yang tambang emasnya hampir ada diseluruh pelosok Kalimantan. Dengan dibesarkan melalui segala kemewahan membuatku menjadi manja sekali. Aku anak tertua dari tiga saudara, dan aku juga satu-satunya anak perempuan dikeluarga kami. Ibuku sibuk dengan pekerjaannya, pergi pagi dan pulang malam. Begitu juga dengan ayahku, dia juga sibuk dengan tambangnya, biasanya dia pulang dua hari sekali hingga aku jarang bertemu dengannya. Segala fasilitas diberikan orang tuaku kepadaku, mulai dari mobil, handphone mahal, laptop dan pakaianku juga selalu pesan dari luar negeri. Dengan segala kemewahan itulah membuat aku tak pernah memandang teman-teman yang lain itu mulia, selalu saja aku mentertawakan, selalu mencari kelemahan mereka dan selalu menghina mereka.
Tapi suatu hari aku sangat sedih sekali, aku mengurung diri dikamar seorang diri. Karena tadi pagi pukul 07.00 sewaktu aku mau berangkat kesekolah aku bertemu seorang bapak supermaket yang umurnya kira-kira 50-han banyak bercerita kepadaku, kebetulan pagi itu sebelum berangkat kesekolah aku membeli snack. Ceritanya memang tak enak sekali kudengar, karena ini menyangkut masalah hidupku, masalah usul asalku. Aku terus bertanya-tanya sendiri dalam hatiku tentang pernyataan bapak itu tadi. Tak habis fikirku menanyakan hal itu.
Aku makan pun merasa tak selera, aku hanya diam sendiri, hari itu juga aku tak pergi kesekolah. Aku yang selalu tertawa bahagia bersama dua orang temanku disekolah, tapi kini aku harus meneteskan air mata yang bagiku ini pertama kali aku menangis.
Aku teringat dengan kata-kata bapak yang kutemui disupermaket itu, yang mengatakan bahwa aku bukan anak kandung dari ibuku. Hatiku terus bertanya-tanya tentang itu, siapa sesungguhnya orang tuaku. Apakah bapak yang kutemui disupermaket itu hanya membohongiku, atau barang kali bapak itu hanya bergurau kepadaku. Segala bentuk jawaban mulai berdatangan dikepalaku. Semua nya menjawab bahwa aku benar-benar anak ibu yang selama ini membesarkan ku.
***
Suasana dirumah sedikit ramai, karena malam itu bapakku datang dari tempat kerjanya, setelah dua hari dua malam pergi meninggalkan rumah.
“Ranti.. keluar sini bentar,” panggil bapakku dari luar
“Iya pak, sebentar Ranti lagi berkemas,” jawabku dari kamar
“Buruan ya,” kata bapakku kembali.
“Ya Pak,” kataku sambil bercermin dikamar,karena mataku masih kelihatan merah habis nangis.
Aku melangkah kan kaki keluar dari kamar, detik jam diruang tamu terus bergulir. Warna-warni lampu yang menghiasi sudut ruang tamu terasa berlawanan dengan apa yang kurasakan saat itu. Suara TV yang ada dihadapanku tak menyurutkan semua perasaanku menjadi bahagia. Aku menempatkan posisi dudukku jauh dari bapakku, tapi bapakku memanggilku dan menyuruhku duduk dekat disampingnya.
“Ran,,kamu tahu ini apa,” tanya bapakku sambil menunjukkan satu kotak kecil.
“Ranti tidak tahu itu apa, memangnya itu apaan sih Pa,” tanyaku ingin tahu.
“Ini adalah hadiah untukmu Ranti, kan dulu kamu juga yang minta,” jawab bapakku sambil memberikan kotak kecil itu kepadaku.
Aku pun membuka pelan-pelan kotak kecil yang dibungkus dengan kertas kado itu. Rasa penasaran semakin memuncak dibenakku. Setelah bungkus kado itu terlepas habis, kelihatan jelas olehku ternyata hadiah yang diberikan oleh bapakkua adalah sebuah kunci mobil.
Memang dulu aku pernah minta ganti mobilku dengan yang baru, karena aku merasa disaingi oleh dua orang temanku. Bapakku memang selalu menuruti apapun permintaanku, hanya saja aku yang salah balas terhadapnya, segala kemewahan yang diberikannya kepadaku malah ku balas dengan nilai sekolah yang rendah, dan aku juga selalu mendapat hukuman disekolah karena tingkahku.
Aku hanya mampu tersenyum melihat apa yang ada ditanganku sekarang. sedangkan ibuku dari kejauhan juga ikut tersenyum melihatku. Bapakku pun mendekatiku, dan selalu berpesan denganku dengan dibelikannya aku mobil baru ini agar aku selalu belajar lebih giat, kalau nilaiku bagus ujian akhir nanti aku akan dikuliahkan oleh bapakku ke Australia. Aku hanya mengiakan tanda setuju.
Masalah yang kuhadapi saat ini belum bisa kuceritakan kepada ibu dan bapakku, karena aku takut mereka memarahiku. Aku bergegas menuju kamar dengan alasan aku banyak tugas dari sekolah.
Dikamar aku hany merenung kembali, sambil menatap keluar dari jendela kamarku, tiba-tiba ibu menyentuh pundakku dengan pelan.
“Ibu.. ,”sapaku sedikit kaget
“Kamu kenapa Ranti, sepertinya kamu sedang ada masalah. Tak biasanya ibu lihat kamu seperti ini,”kata ibuku sambil mengelus pundakku.
“Tak ada kok bu, Ranti baik-baik saja,” jelasku pada ibuku, walau aku tahu aku berbohong pada ibuku.
“Ranti,kamu tidak suka ya dengan hadiah yang diberikan bapakmu tadi,” tanya ibuku sambil duduk diatas kasur tempat tidurku.
“Tidak bu, Ranti senang sekali, apalagi hadiah yang diberikan bapak ini sudah lama Ranti mimpikan,” jawabku mengalas-ngalaskan.
“Ya udah dech Ran,
kamu belajar sana katanya tadi mau belajar,” kata ibuku sambil beranjak dari kasur tempat tidurku. “Ya bu,” jawabku Ibupun melangkah kan kakinya keluar kamarku, aku hanya memperhatikan langkah ibu yang pelan-pelan menjauh dariku. Aku kembali memandang lepas kearah luar jendela kamarku, selalu kutanyakan tentang siapa aku sesungguhnya. Aku memang tak habis fikir dibuatnya, air mataku menetes dengan sendirinya tanpa harus kupaksakan menangis. Ku ambil pena dan selembar kertas putih lalu kutulis. “Seperti apa yang kurasa sekarang mungkin tak dapat untuk ku gambarkan dengan perasaan apapun, hanya ada air mata yang menjadi jawaban apa yang terjadi di atas kisahku ini. Segala kekuatan yang kutanamkan dalam diriku seakan tak mampu membendung air mataku yang terus memaksa ingin keluar dari pelipis mataku. Aku tak sekuat waktu tadi sebelum perasaan ku remuk dan hancur seperti ini. Langkah kakiku hanya mampu menyusuri puing-puing akan kehancuran seluruh perasaanku, bagaikan tersapu ombak yang memecah berderai, seperti guncangan angin yang tiba-tiba harus melayangkanku ke arus yang pahit. Aku tak bisa bernafas dengan perasaan lega, seakan seluruh nafasku masih dihuni oleh dahaga duka yang belum pergi hingga saat ini. Lelah sudah rasanya aku melangkah untuk meninggalkan semuanya, kupejamkan mataku dengan harapan agar aku bisa sedikit melupakan apa yang terjadi. Namun, sayang seribu sayang semua yang ingin kulupakan malah semakin bersemayam dan semakin menyiksaku dengan segala yang ada. Kemana lagi harus kulangkahkan kakiku pergi untuk mengadu bahwa aku ingin melupakan semuanya. Dimana lagi tempat untuk ku bersandar dan mengeluh dengan semua yang membuatku sedih berkepanjangan hingga kini.” Siapa aku, siapa orang tuaku. Mungkin dengan mendapat jawaban itu aku baru tenang dari segala masalah yang kuhadapi saat ini. Aku ingin tersenyum kembali seperti waktu semua ini belum ada datang padaku.” Setelah tulisan itu selesai ku tulis, aku pun perlahan memejamkan mataku. Tulisan kudekap erat sampai membuat aku tak sadar diri, bahwa aku telah terlelap tidur. *** Mentari pagi menyinari kelopak jendela kamarku, suara burung kesayangan bapakku juga ikut berkicau diteras rumahku. Aku melangkah kan kakiku dari kamar untuk bergegas kesekolah, karena saat itu sudah tepat pukul 06. 35. “Ran,,kamu tidak sarapan dulu, sebelum berangkat kesekolah,” tanya ibuku sambil menyiapkan sarapan dimeja makan. “Tidak bu, Ranti takut telat nanti. Ranti sarapan disekolah saja nanti,” jawabku dengan memberikan senyuman kepada ibuku. “Ya sudah, kamu hati-hati dijalan ya,” kata ibuku sambil mendekatiku. Akupun menyium tangan ibuku, segera pamit untuk pergi kesekolah. Dengan senyum yang lebar ibu ikut mengantarku kedepan. Akupun melajukan mobilku menuju sekolah. Baru hari ini, aku disekolah seperti orang asing. Aku tak bergabung dengan temanku yang lain. Mereka pun menjadi heran melihat sikapku yang dari pagi hanya terdiam dibangku kelasku. “Ranti,, pake mobil baru ke sekolah, tapi kok nyampainya kesekolah jadi bengong ya,” kata salah satu temanku. “Bengong apa, dia kehabisan bensin kali dijalan tadi, dan sekarang diam karena kecapean,” kata temanku yang kedua. “Udah ah, aku hari ini mau diam aja, aku tak mau ikut dengan kalian biarkan aku sendiri disini,”kataku dengan mengacungkan jari telunjukku menyuruh mereka menjauhi ku. “Ya udah, tak masalah bagi kami,” kata mereka serempak. Aku hanya terdiam, tak sabar rasanya aku ingin pulang kerumah. Karena disekolah pun fikiranku tetap saja memikirkan hal itu. Bel tanda jam pulang pun tiba, aku berjalan paling depan untuk pulang. Teman-teman sekelilingku menatapku heran hari itu. Karena biasanya aku pulang paling akhir tapi hari itu aku pulang paling depan sekali. Mereka tak tahu apa yang kupendam sekarang, yang mereka tahu aku hanyalah orang yang suka membuat keributan. Tampak dari jauh, sebelum sampai diparkiran mobilku. Aku melihat seorang ibu yang duduk sendiri dengan menadahkan mangkok supaya terisi uang. Entah ada sentuhan apa hatiku saat itu, aku memberikan uang jajanku kepada orang tua itu. Padahala hari-hari lain sebelum masalah itu datang kepadaku, aku sering mengolok ibu itu, menertawakannya dengan kedua orang temanku. Kami bilang ibu itu bau, jelek, kumal, kotor bahkan sering juga aku lemapri tisu bekas keringatku. “Terima kasih ya nak, semoga Tuhan menunjukkan jalan yang terbaik bagimu,”kata ibu itu sambil mencium uang yang kuberikan padanya. Aku tak menjawab kata ibu itu, aku langsung bergegas pulang menuju rumahku. Ku pacu mobilku kencang supaya aku cepat sampai dirumah. Sampai dirumah kudapati ibu sedang duduk sendiri diruang tamu, sepertinya ibu sedang memikirkan sesuatu. “Ibu tak masuk kerjakah hari ini,” tanyaku sambil menyimpan tas diatas meja. “Tidak Ran, ibu hari ini kebetulan lagi libur,” jawabnya sambil tersenyum. Aku duduk tepat disamping ibuku,dengan wajah yang penuh tanda tanya kaupun mulai ingin bertanya dengan ibuku. Namun, tiba-tiba ibuku menyuruhku makan siang, pertanyaan yang sudah siap ingin kutanyakan semuanya hilang. Aku langsung menuju meja makan kebetulan aku memang sedang lapar. Ibu pun duduk disampingku, sambil memperhatikanku makan. Selesai aku makan, ibu pun tetap memperhatikanku dengan seksama. Aku tak menyangka kalau ibu juga memikirkan hal yang sama dengan yang kufikirkan saat itu. “Ran,,darimana kamu tahu tentang siapa orang tua kandungmu Ran,”tanya ibu, Aku terdiam, tertunduk, mataku melotot kaget. Aku bertanya sendiri dalam hatiku darimana ibu tahu tentang apa yang menjadi beban fikiranku saat ini. “Aku tahu dari seorang bapak-bapak bu, kemarin ketemu disupermaket,” jawabku sambil menundukkan kepalaku kembali. Ibu kembali mengusap pundakku, menyabarkanku. “Ibu tahu ini, dari tulisan yang ada diatas kasurmu, kebetulan tadi pagi ibu tak sengaja melihatnya. Kemudian ibu membacanya,” kata ibuku. Aku merasa serba salah, sebenarnya aku ingin pertanyaan itu langsung kutanyakan bukan malah ibu tahu dulu tentang itu. Aku tak bisa memutar waktu kembali lagi, yang jelas kenyataannya sekarang ibu sudah tau apa yang membuatku sering mengurung diri. “Tapi ibu mau jujurkan kepadaku,’ tanyaku kepada ibuku. “Biar ini mendapat kejelasan, dan kamu pun ingin dapat jawabannya, tunggu nanti bapakmu pulang dari pasar,” kata ibuku. Aku langsung melangkah menuju kamar, dengan alasan aku mau ganti pakaian kepada ibuku. *** Malam pun tiba, malam itu tak seperti malam biasanya yang sealalu terdengar suara Tv, dan juga biasanya malam-malam yang lalu terdengar ramai oleh suara adik-adikku bermain. Namun, malam ini semuanya terdiam, yang ada hanya bunyi dentingan jam. Aku duduk disebelah adik keduaku, kulihat dari depanku ibu dan bapakku terdiam menunggu kehadiranku diruang tengah ini. Sepertinya juga ibu telah bercerita kepada bapak tentang apa yang mau kutanyakan kepadanya saat ini. Suara deringan handphone bapakku memecah keheningan, yang semula semua terdiam, aku menoleh kearah bapakku. Ternyata ada pesan singkat masuk kehandphonenya. Bapakku pun membacanya diam-diam, entah apa isi pesan itu aku juga tidak tahu. “Ran,,bapak sudah tahu apa yang menjadi masalah besar bagi kamu saat ini, bapak juga sudah mendapat cerita dari ibumu tadi siang,” kata bapakku sambil menatapku. “jadi Pak, siapa orang tua ranti sesungguhnya,” kataku sambil mengelus air mataku yang tiba-tiba menetes. “Ran,semua ini sudah berjalan 16 tahun yang lalu. Memang benar kamu bukan anak kandung ibumu. Tapi kamu sudah kami adopsi sejak kamu berumur sepuluh hari, kedua orang tua kamu masih hidup Ran, ” kata bapakku menjelaskan kepadaku. Aku tersentak, air mataku mengalir tanpa ada batas hentinya. Ia terus mengalir bersama tangisku yang terisak-isak. Jadi memang benar, aku bukan anak kandung dari ibu yang selama ini membesarku. Aku dibesarkan dengan segala kemewahan tapi bukan dari orang tua yang telah melahirkanku. Aku tak dapat menahan air mataku, hingga ibu pun mendekatiku dan menyuruhku sabar untuk mengahadapi kenyataan ini. Keesokan paginya, ibu dan bapakku mengajakku pergi kesuatu tempat, yang tempatnya tak pernah beritahukan kepadaku. Aku hanya menuruti mereka saja, tanpa mau bertanya lagi kemana mau pergi. Mobil yang dikemudikan bapakpun melaju keluar kota. Tepat pukul 08.30 mobil bapak pun dihentikan disuatu tempat yang bagiku tempat itu adalah tempat untuk para penjahat. Tempat yang menampung para tangkapan polisi, tempat untuk orang yang melanggar hukum. Ya, tempat itu adalah lapas,sebuah lembaga permasyarakatan terbesar dikotaku. Aku menarik nafas panjang, lalu kehembuskan dengan pelan-pelan. Dalam hatiku terus bertanya, untuk apa bapakku membawa aku kesini. Kenyataan tak seperti dugaanku, disitu aku dipertemukan dengan seorang lelaki yang umurnya kira-kira 47 tahun. Dengan tatapannya yang tajam, dengan pakaian yang seadanya lelaki itupun terus menatapku. Sedang bapak dan ibuku hanya diam, dan sepertinya mereka juga kenal dengan orang itu. “Ran, inilah Pak Adi. Bapak kandungmu, yang telah menitipkan kamu dari kecil kepada kami,”kata bapakku sambil memegang pundak orang itu. “Bapakku,” aku sedikit kaget mendengar pernyataan bapakku seperti itu. “Ya Ran, dialah bapakmu,”jawab ibu meyaknkanku. Aku menangis meneteskan air mata pilu, kudekap tubuh bapak kandungku, ia pun membalas dekapanku. Tangis haru bercampur bahagia menyatu menjadi satu saat itu. Tanda tanya yang melekat dibenakku tentang siapa orang tuaku kini sudah terjawablah sudah. Aku mendekap bapakku dengan sekuat-kuatnya,melepaskan rindu yang bertahun-tahun tak pernah berjumpa. Kemudian aku pun melepaskan pelukanku. “Ibu dimana Pak,” tanya ku. “Ibu kamu sebentar lagi datang untuk mengantari bapak makan siang disini,” jawab bapakku. Dari kejauhan kulihat sosok wanita yang berjalan menuju kearah dimana kami berdiri, dengan satu kantong hitam yang dijinjingnya. Aku menatap kearah wanita itu, begitu juga dengan Pak Adi dan kedua Orang tuaku,mereka juga ikiut memperhatikan wanita itu. Wanita itu semakin mendekati kami,hingga semakin dekat jarakku dengannya. Wajahnya yang tak asing bagiku membuatku mengingat kembali, dimana aku pernah bertemu dengan wanita itu?. Fikirku melayang-layang untuk mengingat wajah wanita itu. Aku pun teringat kejadian disekolah, bahwa aku sering menghina dan mengolok wanita itu, hingga hari terakhir aku bertemu dengannya aku memberi ia uang jajanku. “Ini ibumu,”Pak Adi pun memeperkenalkan wanita itu kepadaku. Air mataku tak dapat kutahan lagi, begitu jahatnya aku sebagai manusia. Hingga orang yang sering kuolok-olok,kutertawakan bahkan sering kulempari tisu bekas keringatku sendiri itu adalah ibu kandungku. Rasa penyesalan mendalam hadir dalam hidupku saat itu. Aku pun semakin kencang menangis, kupeluk wanita itu yang ternyata adalah ibu. Kupeluk erat, berkali-kali kucium keningnya. Sembah sujudku dihapannya untuk memohaon ampun atas apa yang selama ini telah kuperbuat kepadanya. Kucium telapak kakinya. Sambil aku berdoa, “Ya Tuhan ampunilah dosaku kepada kedua tuaku, aku tau selama ini aku telah banyak melakukan kesalahan besar kepada mereka,ampuni aku, maafkan atas semua dosaku ya Tuhan.” Aku baru sadar, bahwa segala yang kumiliki saat ini bukanlah pembeda dari yang lainnya. Harta dan segala kemewahan yang kupunya bukan milikku selamanya melainkan hanya titipan. Aku kembali kejalanmu Ya Tuhan, aku akan menjadi orang yang selalu mensyukuri sagala nikmatmu. Tuhan ampuni aku yang begitu banyak dosa ini, ampuni juga dosa kedua orang tuaku yang melahirkanku, kedua orang tuaku yang membesarkanku. Bantu mereka dalam setiap masalah yang telah hadir diantara mereka. Selepas kejadian itu, aku seperti baru dilahirkan kembali kedunia ini. Hidupku yang semulanya bergemelut dengan harta dan kemewahan kini perlahan kutinggalkan. Tak lupa aku meminta maaf kepada kedua orang tuaku yang telah membesarkanku, kepada teman-teman disekolahku, dan juga kepadaku guruku. Aku akan berjanji pada diriku sendiri bahwa aku ingin menjadi anak yang bisa membanggakan orang tuanya dirumah.
kamu belajar sana katanya tadi mau belajar,” kata ibuku sambil beranjak dari kasur tempat tidurku. “Ya bu,” jawabku Ibupun melangkah kan kakinya keluar kamarku, aku hanya memperhatikan langkah ibu yang pelan-pelan menjauh dariku. Aku kembali memandang lepas kearah luar jendela kamarku, selalu kutanyakan tentang siapa aku sesungguhnya. Aku memang tak habis fikir dibuatnya, air mataku menetes dengan sendirinya tanpa harus kupaksakan menangis. Ku ambil pena dan selembar kertas putih lalu kutulis. “Seperti apa yang kurasa sekarang mungkin tak dapat untuk ku gambarkan dengan perasaan apapun, hanya ada air mata yang menjadi jawaban apa yang terjadi di atas kisahku ini. Segala kekuatan yang kutanamkan dalam diriku seakan tak mampu membendung air mataku yang terus memaksa ingin keluar dari pelipis mataku. Aku tak sekuat waktu tadi sebelum perasaan ku remuk dan hancur seperti ini. Langkah kakiku hanya mampu menyusuri puing-puing akan kehancuran seluruh perasaanku, bagaikan tersapu ombak yang memecah berderai, seperti guncangan angin yang tiba-tiba harus melayangkanku ke arus yang pahit. Aku tak bisa bernafas dengan perasaan lega, seakan seluruh nafasku masih dihuni oleh dahaga duka yang belum pergi hingga saat ini. Lelah sudah rasanya aku melangkah untuk meninggalkan semuanya, kupejamkan mataku dengan harapan agar aku bisa sedikit melupakan apa yang terjadi. Namun, sayang seribu sayang semua yang ingin kulupakan malah semakin bersemayam dan semakin menyiksaku dengan segala yang ada. Kemana lagi harus kulangkahkan kakiku pergi untuk mengadu bahwa aku ingin melupakan semuanya. Dimana lagi tempat untuk ku bersandar dan mengeluh dengan semua yang membuatku sedih berkepanjangan hingga kini.” Siapa aku, siapa orang tuaku. Mungkin dengan mendapat jawaban itu aku baru tenang dari segala masalah yang kuhadapi saat ini. Aku ingin tersenyum kembali seperti waktu semua ini belum ada datang padaku.” Setelah tulisan itu selesai ku tulis, aku pun perlahan memejamkan mataku. Tulisan kudekap erat sampai membuat aku tak sadar diri, bahwa aku telah terlelap tidur. *** Mentari pagi menyinari kelopak jendela kamarku, suara burung kesayangan bapakku juga ikut berkicau diteras rumahku. Aku melangkah kan kakiku dari kamar untuk bergegas kesekolah, karena saat itu sudah tepat pukul 06. 35. “Ran,,kamu tidak sarapan dulu, sebelum berangkat kesekolah,” tanya ibuku sambil menyiapkan sarapan dimeja makan. “Tidak bu, Ranti takut telat nanti. Ranti sarapan disekolah saja nanti,” jawabku dengan memberikan senyuman kepada ibuku. “Ya sudah, kamu hati-hati dijalan ya,” kata ibuku sambil mendekatiku. Akupun menyium tangan ibuku, segera pamit untuk pergi kesekolah. Dengan senyum yang lebar ibu ikut mengantarku kedepan. Akupun melajukan mobilku menuju sekolah. Baru hari ini, aku disekolah seperti orang asing. Aku tak bergabung dengan temanku yang lain. Mereka pun menjadi heran melihat sikapku yang dari pagi hanya terdiam dibangku kelasku. “Ranti,, pake mobil baru ke sekolah, tapi kok nyampainya kesekolah jadi bengong ya,” kata salah satu temanku. “Bengong apa, dia kehabisan bensin kali dijalan tadi, dan sekarang diam karena kecapean,” kata temanku yang kedua. “Udah ah, aku hari ini mau diam aja, aku tak mau ikut dengan kalian biarkan aku sendiri disini,”kataku dengan mengacungkan jari telunjukku menyuruh mereka menjauhi ku. “Ya udah, tak masalah bagi kami,” kata mereka serempak. Aku hanya terdiam, tak sabar rasanya aku ingin pulang kerumah. Karena disekolah pun fikiranku tetap saja memikirkan hal itu. Bel tanda jam pulang pun tiba, aku berjalan paling depan untuk pulang. Teman-teman sekelilingku menatapku heran hari itu. Karena biasanya aku pulang paling akhir tapi hari itu aku pulang paling depan sekali. Mereka tak tahu apa yang kupendam sekarang, yang mereka tahu aku hanyalah orang yang suka membuat keributan. Tampak dari jauh, sebelum sampai diparkiran mobilku. Aku melihat seorang ibu yang duduk sendiri dengan menadahkan mangkok supaya terisi uang. Entah ada sentuhan apa hatiku saat itu, aku memberikan uang jajanku kepada orang tua itu. Padahala hari-hari lain sebelum masalah itu datang kepadaku, aku sering mengolok ibu itu, menertawakannya dengan kedua orang temanku. Kami bilang ibu itu bau, jelek, kumal, kotor bahkan sering juga aku lemapri tisu bekas keringatku. “Terima kasih ya nak, semoga Tuhan menunjukkan jalan yang terbaik bagimu,”kata ibu itu sambil mencium uang yang kuberikan padanya. Aku tak menjawab kata ibu itu, aku langsung bergegas pulang menuju rumahku. Ku pacu mobilku kencang supaya aku cepat sampai dirumah. Sampai dirumah kudapati ibu sedang duduk sendiri diruang tamu, sepertinya ibu sedang memikirkan sesuatu. “Ibu tak masuk kerjakah hari ini,” tanyaku sambil menyimpan tas diatas meja. “Tidak Ran, ibu hari ini kebetulan lagi libur,” jawabnya sambil tersenyum. Aku duduk tepat disamping ibuku,dengan wajah yang penuh tanda tanya kaupun mulai ingin bertanya dengan ibuku. Namun, tiba-tiba ibuku menyuruhku makan siang, pertanyaan yang sudah siap ingin kutanyakan semuanya hilang. Aku langsung menuju meja makan kebetulan aku memang sedang lapar. Ibu pun duduk disampingku, sambil memperhatikanku makan. Selesai aku makan, ibu pun tetap memperhatikanku dengan seksama. Aku tak menyangka kalau ibu juga memikirkan hal yang sama dengan yang kufikirkan saat itu. “Ran,,darimana kamu tahu tentang siapa orang tua kandungmu Ran,”tanya ibu, Aku terdiam, tertunduk, mataku melotot kaget. Aku bertanya sendiri dalam hatiku darimana ibu tahu tentang apa yang menjadi beban fikiranku saat ini. “Aku tahu dari seorang bapak-bapak bu, kemarin ketemu disupermaket,” jawabku sambil menundukkan kepalaku kembali. Ibu kembali mengusap pundakku, menyabarkanku. “Ibu tahu ini, dari tulisan yang ada diatas kasurmu, kebetulan tadi pagi ibu tak sengaja melihatnya. Kemudian ibu membacanya,” kata ibuku. Aku merasa serba salah, sebenarnya aku ingin pertanyaan itu langsung kutanyakan bukan malah ibu tahu dulu tentang itu. Aku tak bisa memutar waktu kembali lagi, yang jelas kenyataannya sekarang ibu sudah tau apa yang membuatku sering mengurung diri. “Tapi ibu mau jujurkan kepadaku,’ tanyaku kepada ibuku. “Biar ini mendapat kejelasan, dan kamu pun ingin dapat jawabannya, tunggu nanti bapakmu pulang dari pasar,” kata ibuku. Aku langsung melangkah menuju kamar, dengan alasan aku mau ganti pakaian kepada ibuku. *** Malam pun tiba, malam itu tak seperti malam biasanya yang sealalu terdengar suara Tv, dan juga biasanya malam-malam yang lalu terdengar ramai oleh suara adik-adikku bermain. Namun, malam ini semuanya terdiam, yang ada hanya bunyi dentingan jam. Aku duduk disebelah adik keduaku, kulihat dari depanku ibu dan bapakku terdiam menunggu kehadiranku diruang tengah ini. Sepertinya juga ibu telah bercerita kepada bapak tentang apa yang mau kutanyakan kepadanya saat ini. Suara deringan handphone bapakku memecah keheningan, yang semula semua terdiam, aku menoleh kearah bapakku. Ternyata ada pesan singkat masuk kehandphonenya. Bapakku pun membacanya diam-diam, entah apa isi pesan itu aku juga tidak tahu. “Ran,,bapak sudah tahu apa yang menjadi masalah besar bagi kamu saat ini, bapak juga sudah mendapat cerita dari ibumu tadi siang,” kata bapakku sambil menatapku. “jadi Pak, siapa orang tua ranti sesungguhnya,” kataku sambil mengelus air mataku yang tiba-tiba menetes. “Ran,semua ini sudah berjalan 16 tahun yang lalu. Memang benar kamu bukan anak kandung ibumu. Tapi kamu sudah kami adopsi sejak kamu berumur sepuluh hari, kedua orang tua kamu masih hidup Ran, ” kata bapakku menjelaskan kepadaku. Aku tersentak, air mataku mengalir tanpa ada batas hentinya. Ia terus mengalir bersama tangisku yang terisak-isak. Jadi memang benar, aku bukan anak kandung dari ibu yang selama ini membesarku. Aku dibesarkan dengan segala kemewahan tapi bukan dari orang tua yang telah melahirkanku. Aku tak dapat menahan air mataku, hingga ibu pun mendekatiku dan menyuruhku sabar untuk mengahadapi kenyataan ini. Keesokan paginya, ibu dan bapakku mengajakku pergi kesuatu tempat, yang tempatnya tak pernah beritahukan kepadaku. Aku hanya menuruti mereka saja, tanpa mau bertanya lagi kemana mau pergi. Mobil yang dikemudikan bapakpun melaju keluar kota. Tepat pukul 08.30 mobil bapak pun dihentikan disuatu tempat yang bagiku tempat itu adalah tempat untuk para penjahat. Tempat yang menampung para tangkapan polisi, tempat untuk orang yang melanggar hukum. Ya, tempat itu adalah lapas,sebuah lembaga permasyarakatan terbesar dikotaku. Aku menarik nafas panjang, lalu kehembuskan dengan pelan-pelan. Dalam hatiku terus bertanya, untuk apa bapakku membawa aku kesini. Kenyataan tak seperti dugaanku, disitu aku dipertemukan dengan seorang lelaki yang umurnya kira-kira 47 tahun. Dengan tatapannya yang tajam, dengan pakaian yang seadanya lelaki itupun terus menatapku. Sedang bapak dan ibuku hanya diam, dan sepertinya mereka juga kenal dengan orang itu. “Ran, inilah Pak Adi. Bapak kandungmu, yang telah menitipkan kamu dari kecil kepada kami,”kata bapakku sambil memegang pundak orang itu. “Bapakku,” aku sedikit kaget mendengar pernyataan bapakku seperti itu. “Ya Ran, dialah bapakmu,”jawab ibu meyaknkanku. Aku menangis meneteskan air mata pilu, kudekap tubuh bapak kandungku, ia pun membalas dekapanku. Tangis haru bercampur bahagia menyatu menjadi satu saat itu. Tanda tanya yang melekat dibenakku tentang siapa orang tuaku kini sudah terjawablah sudah. Aku mendekap bapakku dengan sekuat-kuatnya,melepaskan rindu yang bertahun-tahun tak pernah berjumpa. Kemudian aku pun melepaskan pelukanku. “Ibu dimana Pak,” tanya ku. “Ibu kamu sebentar lagi datang untuk mengantari bapak makan siang disini,” jawab bapakku. Dari kejauhan kulihat sosok wanita yang berjalan menuju kearah dimana kami berdiri, dengan satu kantong hitam yang dijinjingnya. Aku menatap kearah wanita itu, begitu juga dengan Pak Adi dan kedua Orang tuaku,mereka juga ikiut memperhatikan wanita itu. Wanita itu semakin mendekati kami,hingga semakin dekat jarakku dengannya. Wajahnya yang tak asing bagiku membuatku mengingat kembali, dimana aku pernah bertemu dengan wanita itu?. Fikirku melayang-layang untuk mengingat wajah wanita itu. Aku pun teringat kejadian disekolah, bahwa aku sering menghina dan mengolok wanita itu, hingga hari terakhir aku bertemu dengannya aku memberi ia uang jajanku. “Ini ibumu,”Pak Adi pun memeperkenalkan wanita itu kepadaku. Air mataku tak dapat kutahan lagi, begitu jahatnya aku sebagai manusia. Hingga orang yang sering kuolok-olok,kutertawakan bahkan sering kulempari tisu bekas keringatku sendiri itu adalah ibu kandungku. Rasa penyesalan mendalam hadir dalam hidupku saat itu. Aku pun semakin kencang menangis, kupeluk wanita itu yang ternyata adalah ibu. Kupeluk erat, berkali-kali kucium keningnya. Sembah sujudku dihapannya untuk memohaon ampun atas apa yang selama ini telah kuperbuat kepadanya. Kucium telapak kakinya. Sambil aku berdoa, “Ya Tuhan ampunilah dosaku kepada kedua tuaku, aku tau selama ini aku telah banyak melakukan kesalahan besar kepada mereka,ampuni aku, maafkan atas semua dosaku ya Tuhan.” Aku baru sadar, bahwa segala yang kumiliki saat ini bukanlah pembeda dari yang lainnya. Harta dan segala kemewahan yang kupunya bukan milikku selamanya melainkan hanya titipan. Aku kembali kejalanmu Ya Tuhan, aku akan menjadi orang yang selalu mensyukuri sagala nikmatmu. Tuhan ampuni aku yang begitu banyak dosa ini, ampuni juga dosa kedua orang tuaku yang melahirkanku, kedua orang tuaku yang membesarkanku. Bantu mereka dalam setiap masalah yang telah hadir diantara mereka. Selepas kejadian itu, aku seperti baru dilahirkan kembali kedunia ini. Hidupku yang semulanya bergemelut dengan harta dan kemewahan kini perlahan kutinggalkan. Tak lupa aku meminta maaf kepada kedua orang tuaku yang telah membesarkanku, kepada teman-teman disekolahku, dan juga kepadaku guruku. Aku akan berjanji pada diriku sendiri bahwa aku ingin menjadi anak yang bisa membanggakan orang tuanya dirumah.