Handhira Production

Halaman


">Iklan Melayang

">

Sabtu, 03 Desember 2016

Aksi 212

Foto ini akan saya simpan sebagai bukti sejarah bahwa pada tanggal 212 tahun 2016, Jutaan Umat Muslim di Indonesia melakukan Aksi Super Damai menuntut keadilan dan ditegakkannya hukum bagi sang penista Agama.
Jika kemudian sepuluh tahun bahkan dua puluh lima tahun akan datang tiba-tiba sejarah tidak menulis aksi 212 ini maka saya akan selalu menceritakan kepada anak-anak saya kelak bahwa aksi ini adalah aksi paling bermartabat sepanjang sejarah.
Bila ada sejarah yang menulis bahwa aksi ini adalah aksi bayaran, aksi makar dan aksi politik, ketahuilah bahwa saya akan selalu dan akan selalu meluruskan sejarah ini.
Jika Dua puluh tahun akan datang, anak saya bertanya kepada saya tentang aksi 212 ini dan bertanya dimana posisi saya ( sebagai ayah ) pada saat aksi ini berlangsung.
Saya akan merasa malu kata apa yang pantas saya katakan sebagai jawaban pertanyaan anak saya. Saya katakan tidak punya uang untuk ke Jakarta tetapi kisah perjalanan santri ratusan kilometer dari ciamis akan mematahkan jawaban saya, peserta aksi dari pulau Sumatra yang menempuh perjalanan berhari-hari melalui jalur laut juga akan membungkam saya.
Saya akan kesulitan untuk membela diri dalam keterlibatan saya dalam aksi 212 ini.
Tapi ketahuilah nak, bahwa saya ( ayah ) pada saat aksi ini berlangsung ayah juga merasakan haru, merasakan bagaimana perasaan saudara kita yang ikut aksi 212. Saya menangis melihat dan menyaksikan betapa Indahnya Islam, betapa bermartabatnya saudara-saudara kita dalam melakukan aksi, ayah terharu tetapi tidak berada diantara jutaan peserta aksi. Saya hanya menyaksikan dari layar televisi.
Namun, jawaban saya ini pasti tidak akan membuat anak saya menjadi puas. Kenapa ?
Lihat berapa jumlah orang tua, tuna netra dan bahkan preman sekalipun ikut aksi membela agamanya. Tidak hanya itu, orang punya uang hanya Rp. 2000 saja rela menyumbangkan rejekinye hanya untuk membantu para mujahid yang berjuang membela agamanya.
Saya akan menjadi ayah yang paling MALU ketika anak-anak saya kelak menanyakan hal itu.
Ditambah lagi, jika anak saya bertanya " Disaat kitab suci kita, kitab suci ayah baca dilecehkan kenapa ayah tidak mengorbankan segalanya untuk membelanya, seharusnya ayah malu pada mereka yang buta, tuli, bahkan bisu namun hatinya terketuk ketika ayat sucinya dihinakan ?"
Untuk kedua kalinya saya akan menjadi ayah yang paling MALU, Sekaligus BUNGKAM. Saya tidak akan bisa berargumen untuk menjawab pertanyaan ini.
Apa yang telah saya lakukan pada saat kasus ini mencuat akan mematahkan dengan semua keingintahuan dari anak saya.
Sekali lagi akan saya katakan, saya ( ayah ) sangat merasakan sakitnya ketika kitab suci kita disnitakan. Tetapi saya akan kebingungan untuk mencari jawaban untuk menyatakan bahwa saya pada hari itu berjuang menyuarakan lewat media sosial, ikut merasakan dan ikut memberikan doa untuk para mujahid.
Sekali lagi, jawaban saya akan selalu ditepis oleh anak saya.
Saya akan terus merasa malu, merasa malu dan malu kepada anak saya.
Saya tak kan punya kata-kata untuk menjawab pertanyaan anak saya.
Hanya ini nak, sebagai bukti sejarah bahwa ayah ikut merasakan haru, sebagai umat muslim ayah juga mengutuk atas pelecehan kitab suci kita ini. Biarpun ayah tidak berada diantara pada para mujahid, ayah tidak ikut menyumbangkan harta untuk membela agama, tetapi ayah menangis dan intropeksi diri serapa jauh ayah mencintai Al-qur'an.
Jika kau dewasa kelak nak kau akan tahu dimana posisi ayah.
Sambas, 3 Desember 2016

0 comments:

Posting Komentar

 
close